Senin, 09 April 2012

Pendidikan Multi Budaya

Makalah Pengantar Ilmu Pendidikan
Pendidikan Multi Budaya


Oleh:
Nanda Perdana Putra

Program Studi Ilmu Pendidikan Islam
Jurusan Ilmu Agama Islam
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta

PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku dan ras, yang mempunyai budaya, bahasa, nilai, dan agama atau keyakinan berbeda-beda. Bila bangsa ini ingin menjadi kuat dalam era demokrasi, diperlukan sikap saling menerima dan menghargai dari tiap orang yang beraneka ragam itu sehingga dapat saling membantu, bekerja sama membangun negara ini lebih baik. Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Ahmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa. Untuk itu dipandang sangat penting memberikan pendidikan Multibudaya sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.
A. PENGERTIAN HAKIKAT PENDIDIKAN MULTIBUDAYA
Pembelajaran Multibudaya adalah kebijakan dalam praktik pendidikan dalam mengakui, menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan gender, ras, kelas. Pendidikan Multibudaya adalah suatu sikap dalam memandang keunikan manusia dengan tanpa membedakan ras, budaya, jenis kelamin, seks, kondisi jasmaniah atau status ekonomi seseorang. Pendidikan Multibudaya (Multicultural education) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas. Pendidikan Multibudaya didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pembelajaran Multibudaya pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya.
Dalam konteks yang luas, pendidikan Multibudaya mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek; dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.
Pembelajaran berbasis Multibudaya didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan Multibudaya bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan pengajaran inklusif dan pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum yang berperan bagi kompetisi budaya individual.
Pembelajaran berbasis Multibudaya berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung. Pendidikan Multibudaya juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat. Pendidikan Multibudaya diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis.
Tujuan pendidikan dengan berbasis Multibudaya dapat diidentifikasi: (1) Untuk mefungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam; (2) Untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan; (3)  Memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya; (4) Untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan.
Di samping itu, pembelajaran berbasis Multibudaya dibangun atas dasar konsep pendidikan untuk kebebasan, yang bertujuan untuk: (1) Membantu siswa atau mahasiswa mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk berpartisipasi di dalam demokrasi dan kebebasan masyarakat; (2) Memajukan kebebasan, kecakapan, keterampilan terhadap lintas batas-batas etnik dan budaya untuk berpartisipasi dalam beberapa kelompok dan budaya orang lain.
B. MODEL-MODEL PERUBAHAN IDENTITAS ETNIK
Dalam kehidupan kita yang memiliki banyak budaya pastinya ada pula didalamnya kejadian mengenai Culture Shock. Terdapat beberapa model perubahan identitas etnik, diantaranya adalah:
o   Model Perubahan Identitas Penduduk Sementara
Beberapa penelitian mengonseptualisasikan proses penyesuaian penduduk musiman dari berbagai perspektif developmental. Konsekuensi menarik dari model-model deskriptif yang berorientasi jenjang ini berpusat pada pertanyaan apakah adaptasi penduduk musiman merupakan satu proses kurva-U atau kurva-W. Lysgaard mengembangkan satu model penyesuaian antarbudaya yang terdiri atas tiga fase yang mencakup penyesuaian awal, krisis, dan penyesuaian yang diperoleh kembali. Penyesuaian awal adalah fase optimistis dari proses penyesuaian para penduduk musiman; yang kedua merupakan fase yang menekan ketika realitas terbentuk dan penduduk musiman diluapi ketidakmampuan mereka; yang ketiga adalah fase penetapan, saat penduduk musiman belajar mengatasi lingkungan baru.
Dari gagasan-gagasan tersebut, Lysgaard mengajukan model kurva-U sebagai proses penyesuaian penduduk musiman, sekaligus menyatakan bahwa penduduk musiman melalui fase awal ”bulan madu”, lalu mengalami ”kemerosotan” atau fase yang membuat tertekan, dan akhirnya menguasai diri mereka hingga mencapai satu fase dalam mengelola tugas-tugas mereka di luar negeri. Dalam mengembangkan model kurva-U, Gullahorn mengajukan model kurva-W dengan enam jenjang: yakni fase bulan madu, permusuhan, penuh humor, merasa seperti di rumah sendiri, guncangan budaya reentry, dan resosialisasi. Sebagai pengembangan lebih lanjut dari model Gullahorn ini, dikembangkan model penyesuaian berbentuk W yang merupakan hasil revisi dengan tujuh jenjang untuk menjelaskan proses penyesuaian jangka pendek dan menengah dari penduduk musiman. Ketujuh jenjang tersebut adalah jenjang bulan madu, permusuhan, penuh humor, in-sync, ambivalensi, guncangan budaya, dan resosialisasi.
Pada tahap bulan madu, penduduk musiman sangat bersemangat menghadapi lingkungan budaya baru mereka. Pada tahap permusuhan, mereka mengalami kebingungan dan disorientasi identitas yang hebat, tak ada satu hal pun yang berhasil dalam fase ini. Dalam tahap penuh humor, penduduk musiman belajar menertawakan kecerobohan-kecerobohan budaya mereka dan mulai menyadari bahwa ada pro dan kontra dalam tiap budaya, seperti ada baik dan buruk dalam tiap masyarakat. Dalam tahap in-sync, mereka mulai merasa seperti ada di lingkungan sendiri dan mengalami keamanan dan inklusi identitas. Batas antara outsider dan insider semakin kabur dan para pendatang mengalami penerimaan dan dukungan sosial. Saat telah berada di zona kenyamanan, mereka harus pulang. Dalam tahap ambivalensi, mereka mengalami duka, nostalgia, dan kebanggaan, yang bercampur dengan rasa lega sekaligus sedih karena mereka akan pulang.
Dalam tahap guncangan budaya saat masuk kembali, penduduk musiman menghadapi satu sentakan tak terduga. Karena sifatnya yang tak terduga, guncangan budaya reentry biasanya berdampak lebih hebat. Mereka biasanya merasa lebih tertekan dibandingkan dengan ketika mereka masuk. Pada tahap resosialisasi, beberapa individu secara diam-diam mengasimilasikan diri mereka kembali pada peran-peran dan perilaku lama mereka tanpa menimbulkan gelombang atau tanpa tampil berbeda dari kolega-kolega mereka. Beberapa individu lain tak dapat masuk kembali ke dalam budaya asal mereka (alienator). Beberapa individu lain mungkin menjadi agen perubahan dalam budaya atau organisasi asal mereka. Mereka secara penuh pertimbangan mengintegrasikan pengalaman belajar di luar negeri dengan hal-hal positif lain dari budaya asal mereka. Mereka menerapkan cara berpikir multidimensional, kecerdasan emosi yang diperkaya, dan berbagai sudut pandang dalam memecahkan masalah atau mendorong perubahan demi terciptanya organisasi pembelajaran yang benar-benar inklusif. Mereka juga tidak takut terlihat berbeda di tempat asal mereka karena mereka memiliki pengalaman menjadi orang yang berbeda saat di luar negeri. Mereka merasa nyaman dengan proses berayun identitas ganda. Para transformer ini menjadi individu-individu yang telah memiliki kecermatan, rasa iba, dan kebijakan.
Pada dasarnya, model penyesuaian berbentuk W yang telah direvisi menekankan beberapa karakteristik selama proses perubahan identitas para penduduk musiman:
1. Mereka perlu memahami puncak dan titik rendah, pergeseran positif dan negatif, yang membentuk perubahan identitas dalam lingkungan asing, menyadari bahwa perubahan naik-turun perasaan merupakan bagian dari proses perubahan dan perkembangan,
2. Mereka mesti menyadari dan mengikuti tujuan instrumental, relasional dan identitas mereka dalam budaya baru; kesuksesan dalam satu set tujuan tertentu mempengaruhi keberhasilan mencapai tujuan lain,
3. Mereka perlu memberikan diri mereka waktu dan ruang untuk menyesuaikan diri,
4. Mereka perlu mengembangkan ikatan kuat dan ikatan lemah untuk melindungi mereka dan tempat mencari bantuan pada saat diperlukan,
5. Mereka perlu mencari kesempata untuk berpartisipasi dalam event budaya besar milik budaya tuan rumah dan melibatkan diri dalam kesempatan langka itu serta belajar menikmati budaya lokal semaksimal mungkin.
o   Model Perubahan Identitas Imigran dan Minoritas
Akulturasi adalah proses beranekasegi dan multidimensional yang melibatkan proses perubahan level sistem dan individu. Para antropologis mengartikan akulturasi sebagai kontak langsung yang berlangsung terus-menerus antara kelompok-kelompok individu yang memproduksi perubahan berikutnya dalam pola-pola budaya salah satu atau dua kelompok tersebut. Transformasi individu ini dapat terjadi dalam masyarakat yang monokultural atau pluralistis.
Dalam masyarakat monokultural dengan tuntutan akan konformitas yang tinggi, akulturasi bagi inhabitan jangka panjang secara tipikal bersifat unidirectional. Dalam masyarakat pluralistis, akulturasi dapat mengambil banyak bentuk dan arah. Konsep akulturasi melibatkan banyak isu, seperti batas dalam kelompok/ luar kelompok, tekanan konformitas, perilaku dan hubungan kelompok minoritas-mayoritas, dan pemeliharaan warisan etnis serta asimilasi budaya yang lebih besar.
Dari perspektif tipologis minoritas-mayoritas, penonjolan identitas etnis/kultural dapat dipandang sebagai model empat rangkap yang menekankan orientasi individu terhadap isu-isu pemeliharaan identitas etnis dan identitas budaya yang lebih besar.
Menurut Berry, imigran yang cenderung mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan merendahkan siginifikansi nilai-nilai dan norma-norma budaya baru menerapkan opsi yang berorientasi tradisional. Individu yang mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan pada saat yang bersamaan menampakkan gerakan untuk menjadi bagian dari masyarakat yang lebih besar, menerapkan opsi yang berorientasi bikultural atau integratif. Individu yang menganggap rendah signifikansi nilai-nilai dan norma-norma etnis mereka dan cenderung memandang diri mereka sebagai anggota masyarakat yang lebih besar, menerapkan opsi asimilasi. Individu yang kehilangan kontak psikologis/etnis dengan kelompok etnis sekaligus masyarakat yang lebih besar dan mengalami perasaan alienasi dan kehilangan identitas, mengalami marjinalisasi.

C. LANGKAH-LANGKAH IMPLEMENTASI FILOSOFI BHINEKA TUNGGAL IKA DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Agar pendidikan lebih Multibudaya, maka kurikulum, model pembelajaran, dan suasana sekolah harus diseragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada , dan peran guru harus dibuat Multibudaya, serta peran keluarga yang sangat penting untuk pelaksanaan Multibudaya. Isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum harus menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif. Isi dan bahan ajar di sekolah perlu dipilih yang sungguh menekankan pengenalan dan penghargaan terhadap budaya dan nilai lain.
Pertama, misalnya dalam semua bidang pelajaran, dimasukkan nilai dan tokoh-tokoh dari budaya lain agar siswa mengerti bahwa dalam tiap budaya, ilmu itu dikembangkan. Contoh-contoh ilmuwan dan hasil teknologi, perlu diambil dari berbagai budaya dan latar belakang termasuk jender. Kesamaan dan perbedaan antarbudaya perlu dijelaskan dan dimengerti. Siswa dibantu untuk kian mengerti nilai budaya lain, menerima dan menghargainya. Misalnya, dalam mengajarkan makanan, pakaian, cara hidup, bukan hanya dijelaskan dari budayanya sendiri, tetapi juga yang lain.
Kedua, model pembelajaran dalam kelas pun perlu diwarnai multikultural, yaitu dengan menggunakan berbagai pendekatan berbeda-beda. Penyajian bahan, termasuk matematika, dalam memberi contoh, guru perlu memilih yang beraneka nilai. Buku-buku yang ditulis dalam pelajaran pun perlu disusun untuk menghargai budaya lain dan penghargaan jender.
Ketiga, suasana sekolah amat penting dalam penanaman nilai multibudaya. Sekolah harus dibangun dengan suasana yang menunjang penghargaan budaya lain. Relasi guru, karyawan, siswa yang berbeda budaya diatur dengan baik, ada saling penghargaan. Anak dari kelompok lain tidak ditolak tetapi dihargai.
Keempat, dengan menyeragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada, baik dari segi budaya, agama, nilai, dan lain-lain. Sikap saling menerima, menghargai nilai, budaya, keyakinan yang berbeda tidak otomatis akan berkembang sendiri. Apalagi karena dalam diri seseorang ada kecenderungan untuk mengharapkan orang lain menjadi seperti dirinya.
Kelima, dengan sikap saling menerima dan menghargai akan cepat berkembang bila dilatihkan dan dididikkan pada generasi muda dalam sistem pendidikan nasional. Dengan pendidikan, sikap penghargaan terhadap perbedaan yang direncana baik, generasi muda dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan budaya lain bahkan melatihnya dalam hidup sehingga sewaktu mereka dewasa sudah mempunya sikap itu. Di sini pemerintah dan tiap sekolah perlu memikirkan model dan bentuk yang sesuai.
Keenam, lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau untuk hidup bersama secara damai.
Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan Multibudaya disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
James A. Banks, mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan Multibudaya yang diperkirakan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan pelajar (siswa), yaitu:
  1. Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.
  2. Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri;
  3. Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.
  4. Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan, persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar.
  5. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstrakurikuler dan penghargaan staff dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.
Pendekatan yang bisa dipakai dalam proses pembelajaran di kelas Multibudaya adalah pendekatan kajian kelompok tunggal (Single Group Studies) dan pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspektives Approach). Pendidikan Multibudaya di Indonesia pada umumnya memakai pendekatan kajian kelompok tunggal. Pendekatan ini dirancang untuk membantu siswa dalam mempelajari pandangan-pandangan kelompok tertentu secara lebih mendalam. Oleh karena itu, harus tersedia data-data tentang sejarah kelompok itu, kebiasaan, pakaian, rumah, makanan, agama yang dianut, dan tradisi lainnya. Data tentang kontribusi kelompok itu terhadap perkembangan musik, sastra, ilmu pengetahuan, politik dan lain-lain harus dihadapkan pada siswa. Pendekatan ini terfokus pada isu-isu yang sarat dengan nilai-nilai kelompok yang sedang dikaji.
Sedangkan pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspectives) adalah pendekatan yang terfokus pada isu tunggal yang dibahas dari berbagai perspektif kelompok-kelompok yang berbeda. Pada umumnya, guru-guru memiliki berbagai perspektif dalam pembelajarannya.
Pendekatan perspektif ganda membantu siswa untuk menyadari bahwa suatu peristiwa umum sering diinterpretasikan secara berbeda oleh orang lain, dimana interpretasinya sering didasarkan atas nilai-nilai kelompok yang mereka ikuti. Solusi yang dianggap baik oleh suatu kelompok (karena solusi itu sesuai dengan nilai-nilainya), sering tidak dianggap baik oleh kelompok lainnya karena tidak cocok dengan nilai yang diikutinya. Keunggulan pendekatan perspektif ganda ini terletak pada proses berpikir kritis terhadap isu yang sedang dibahas sehingga mendorong siswa untuk menghilangkan prasangka buruk. Interaksi dengan pandangan kelompok yang berbeda-bebada memungkinkan siswa untuk berempati. Hasil penelitian membuktikan bahwa siswa yang rendah prasangkanya menunjukkan sikap yang lebih sensitif dan terbuka terhadap pandangan orang lain. Mereka juga mampu berpikir kritis, karena mereka lebih bersikap terbuka, fleksibel, dan menaruh hormat pada pendapat yang berbeda. Bahan pelajaran dan aktivitas belajar yang kuat aspek afektifnya tentang kehidupan bersama dalam perbedaan kultur terbukti efektif untuk mengembangkan perspektif yang fleksibel. Siswa yang memiliki rasa empati yang besar memungkinkan dia untuk menaruh rasa hormat terhadap perbedaan cara pandang. Tentu saja hal itu akan mampu mengurangi prasangka buruk terhadap kelompok lain. Membaca buku sastra multietnik dapat mengurangi stereotipe negatif tentang budaya orang lain. Pendekatan perspektif ganda mengandung dua sasaran yaitu meningkatkan empati dan menurunkan prasangka. Empati terhadap kultur yang berbeda merupakan prasyarat bagi upaya menurunkan prasangka.
KESIMPULAN
Pendidikan Multibudaya didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pembelajaran Multibudaya pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya.
Terdapat beberapa model perubahan identitas etnik, yang pertama adalah Model Perubahan Identitas Penduduk Sementara. Lysgaard mengembangkan satu model penyesuaian antarbudaya yang terdiri atas tiga fase yang mencakup penyesuaian awal, krisis, dan penyesuaian yang diperoleh kembali. Penyesuaian awal adalah fase optimistis dari proses penyesuaian para penduduk musiman, yang kedua merupakan fase yang menekan ketika realitas terbentuk dan penduduk musiman diluapi ketidakmampuan mereka, yang ketiga adalah fase penetapan, saat penduduk musiman belajar mengatasi lingkungan baru.
Yang kedua adalah Model Perubahan Identitas Imigran dan Minoritas. Imigran yang cenderung mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan merendahkan siginifikansi nilai-nilai dan norma-norma budaya baru menerapkan opsi yang berorientasi tradisional. Individu yang mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan pada saat yang bersamaan menampakkan gerakan untuk menjadi bagian dari masyarakat yang lebih besar, menerapkan opsi yang berorientasi bikultural atau integratif. Individu yang menganggap rendah signifikansi nilai-nilai dan norma-norma etnis mereka dan cenderung memandang diri mereka sebagai anggota masyarakat yang lebih besar, menerapkan opsi asimilasi. Individu yang kehilangan kontak psikologis/etnis dengan kelompok etnis sekaligus masyarakat yang lebih besar dan mengalami perasaan alienasi dan kehilangan identitas, mengalami marjinalisasi.
Dalam mengimplementasikan filosofi Bhineka Tunggal Ika dalam dunia pendidikan, James A. Banks mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan Multibudaya yang diperkirakan dapat membantu guru dalam pelaksanaan tersebut. Lima dimensi tersebut adalah: 1) Dimensi integrasi isi/materi (content integration). 2) Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). 3) Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). 4) Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dan 5) Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure).


DAFTAR PUSTAKA
Ainul Yaqin. 2005. Pendidikan Multikultural, Pilar Media: Yogyakarta.
Ainurrofiq Dawam. 2006. Pendidikan Multikultural, Penerbit Inspeal: Yogyakarta
Banks, J.A. 1997. Multicultural Education-Issue and Perspectives, Ellyn and Bacon: Boston.
Byrnes, D.A. 1988. “Children and Prejudice”, Social Education.
Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat. 2001. Komunikasi MultiBudaya, Rosda Karya: Bandung

Senin, 02 April 2012

Substansi Filsafat Ilmu: Kebenaran

TUGAS INDIVIDU
Substansi Filsafat Ilmu: Kebenaran


NAMA: NANDA PERDANA PUTRA
NRM: 4715092430
IPI 2009

KATA PENGANTAR
Assalamu'alakum Wr. Wb.
           Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nyalah pembuatan makalah ini dapat selesai dengan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu.
          Dalam penyusunan makalah ini, penyusun melibatkan berbagai pihak yang turut membantu baik berupa moril maupun materil, maka penyusun mengucapkan terima kasih kepada: 

1.   Ibu Rihlah Nur Aulia selaku dosen mata kuliah Filsafat Ilmu. 

2.   Orang tua yang selalu memberikan bantuan baik berupa moril maupun materil.

3.   Millata Hanifa yang selalu hadir mendampingi saya. 

4.  Teman-teman khususnya IPI 2009 yang selalu memberikan dorongan agar makalah ini selesai dengan baik dan tepat waktu.

Harapan penyusun semoga makalah ini dapat mendatangkan banyak manfaat bagi para pembaca khususnya penyusun sendiri.
Penyusun mohan maaf apabila dalam penulisan ada kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan maupun isi makalah ini.

Wabillahitaufiq Walhidayah Wassalamualaikum Wr. Wb.






                                                                                                   Jakarta, Januari 2012


                                                                                                                      
                                                                                                   Nanda Perdana Putra


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................3
PENDAHULUAN............................................................................................4
PEMBAHASAN..............................................................................................5
      A.    Pengertian Kebenaran...............................................................................5
      B.     Pendekatan Dalam Mencari Kebenaran..................................................5
1.      Pendekatan Empiris.................................................................5
2.      Pendekatan Rasional...............................................................5
3.      Pendekatan Intuitif...................................................................5
4.      Pendekatan Religius................................................................6
5.      Pendekatan Otoritas................................................................6
      C.    Teori Kebenaran Menurut Filsafat...........................................................6
1.      Teori Korenpondensi...............................................................6
2.      Teori Koherensi.......................................................................7
3.      Teori Pragmatik........................................................................9
4.      Teori Performatif.....................................................................10
5.      Teori Proposisi.........................................................................11
6.      Teori Struktural Paradigmatik................................................11
KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 14


 
PENDAHULUAN
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau secara empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional agar kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap kebenaran.Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda.Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Sedangkan tingkat yang lebih rendah dalam menangkap kebenaran adalah pengetahuan indra dan naluri karena tidak terstruktur dan pada umumnya kabur. Oleh sebab itu pengetahuan harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Proses pencarian kebenaran tentu bukan hal yang mudah dan dapat dikatakan merupakan proses yang sangat melelahkan, bahkan bukan tidak mungkin akan mendatangkan keputusasaan. Manusia, yang pada dasarnya adalah makhluk yang selalu bertanya dan selalu merasa ingin tahu pada akhirnya memutuskan untuk tetap selalu mencari kebenaran, tidak peduli betapa keputusasaan telah mengepungnya dari berbagai arah. Tujuan akhirnya adalah kebenaran harus ditemukan.

 

PEMBAHASAN
A.    Pengertian kebenaran
Kebenaran adalah kenyataan yang benar-benar terjadi. Pernyataan yang pasti, dan tidak dapat dipungkiri lagi. Kita manusia selalu ingin tahu kebenaran, karena hanya kebenaranlah yang bisa memuaskan rasa ingin tahu kita, dengan kata lain tujuan pengetahuan ialah mengetahui kebenaran. Tujuan ilmu juga mencapai kebenaran, dalam ilmu, kita manusia ingin memperoleh pengetahuan yang benar, karena ilmu merupakan pengetahuan yang sistematis, maka pengetahuan yang dituju ilmu adalah pengetahuan ilmiah.
Kita manusia bukan hanya sekedar ingin tahu, tetapi ingin mengetahui kebenaran.Kita juga selalu ingin memiliki pengetahuan yang benar. Kebenaran ialah persesuaian antara pengetahuan dan obyeknya. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan obyeknya.
B.     Pendekatan dalam mencari kebenaran
Dalam mencari kebenaran terdapat beberapa pendekatan yaitu dengan pendekatan empiris, pendekatan rasional, pendekatan intuitif, pendekatan religius, dan pendekatan otoritas.[1]
1.      Pendekatan Empiris
Manusia mempunyai seperangkat indera yang berfungsi sebagai penghubung dirinya dengan dunia nyata, dengan inderanya manusia mampu mengenal berbagai hal yang ada di sekitarnya.Kenyataan seperti ini menyebabkan timbulnya anggapan bahwa kebenaran dapat diperoleh melalui penginderaan atau pengalaman.
Bagi yang mempercayai bahwa penginderaan merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh kebenaran disebut sebagai kaum empiris. Bagi golongan ini, pengetahuan itu bukan didapatkan melalui penalaran rasional yang abstrak, namun melalui pengalaman yang konkrit.
2.      Pendekatan Rasional
Cara lain untuk mendapatkan kebenaran adalah dengan mengandalkan rasio, upaya ini sering disebut sebagai pendekatan rasional. Manusia merupakan makhluk hidup yang dapat berpikir, sehingga dengan kemampuannya tersebut manusia dapat menangkap ide atau prinsip tentang sesuatu, yang pada akhirnya sampai pada kebenaran, yaitu kebenaran rasional.
3.      Pendekatan Intuitif
Pendekatan ini merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran tertentu. Misalkan Seseorang yang sedang menghadapi suatu masalah secara tiba-tiba menemukan jalan pemecahan dari masalah yang dihadapi.
4.      Pendekatan Religius
Kita sebagai makhluk Tuhan yang diberi akal pikiran harus menyadari bahwa alam semesta beserta isinya ini diciptakan dan dikendalikan oleh kekuatan Tuhan. Upaya untuk memperoleh kebenaran dengan jalan seperti ini disebut sebagai pendekatan religius.
5.      Pendekatan Otoritas
Yang dimaksud dengan pendekatan otoritas ini adalah seseorang yang memiliki kelebihan tertentu dibandingkan dengan orang lain. Kelebihan-kelebihan tersebut bisa berupa kekuasaan, kemampuan intelektual, keterampilan, pengalaman, dan sebagainya. Yang memiliki kelebihan-kelebihan seperti itu disegani, ditakuti, ataupun dijadikan figur panutan. Apa yang mereka nyatakan akan diterima sebagai suatu kebenaran.
C.    Teori kebenaran menurut filsafat
            Terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik. Sementara, Michael William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu: kebenaran korespondensi, kebenaran koherensi, kebenaran pragmatik, kebenaran performatif dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran struktural paradigmatik.
1.      Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Truth)
Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan. Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.[2]
Kelemahan yang didapatkan dari teori korespondensi adalah: Pertama, teori korespondensi memberikan gambaran yang kurang tepat dan yang terlalu sederhana mengenai bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan. Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan yang dianggap sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing. Kedua, teori korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita harus melihat setiap pernyataan satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut berhubungan dengan realitasnya atau tidak. ”Lalu bagaimana jika kita tidak mengetahui realitasnya? Bagaimanapun terdapat kesulitan dalam melakukan hal tersebut. Adapun yang ketiga adalah, Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi. Di samping itu teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang nonempiris atau objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektifanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.[3]
2.      Teori Koherensi (The Coherence Theory of Truth)
Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain. Seperti sebuah percepatan terdiri dari konsep-konsep yang saling berhubungan darimassa, gaya dan kecepatan dalam fisika.
Teori Koherensi/Konsistensi (The Consistence/Coherence Theory of Truth) memandang bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. Suatu proposisi dianggap benar jika proposisi itu berhubungan (koheren) dengan proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Dengan demikian suatu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian (pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui, diterima dan diakui benarnya. Karena sifatnya demikian, teori ini mengenal tingkat-tingkat kebenaran. Disini derajar koherensi merupakan ukuran bagi derajat kebenaran. Contoh: “Semua manusia akan mati. Si Fulan adalah seorang manusia. Si Fulan pasti akan mati.“Sukarno adalah ayahanda Megawati.Sukarno mempunyai puteri.Megawati adalah puteri Sukarno”.
Seorang sarjana Barat A.C Ewing menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu ideal yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat tersebut dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tersebut tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tersebut adalah angka apa saja.
Teori koherensi, pada kenyataannya kurang diterima secara luas dibandingkan teori korespondensi.Teori ini punya banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan.Misalnya, astrologi mempunyai sistem yang sangat koheren, tetapi kita tidak menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya.[4]
Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori koheren. Sistem matematika disusun diatas beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar (aksioma). Dengan mempergunakan beberapa aksioma, maka disusun suatu teorema. Dan diatas teorema-lah, maka dikembangkan kaidah-kaidah matematika yang secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang konsisten.
Salah satu dasar teori ini adalah hubungan logis dari suatu proposisi dengan proposisi sebelumnya. Proposisi atau pernyataan adalah apa yang dinyatakan, diungkapkan dan dikemukakan atau menunjuk pada rumusan verbal berupa rangkaian kata-kata yang digunakan untuk mengemukakan apa yang hendak dikemukakan. Proposisi menunjukkan pendirian atau pendapat tentang hubungan antara dua hal dan merupakan gabungan antara faktor kuantitas dan kualitas. Contohnya tentang hakikat manusia, baru dikatakan utuh jika dilihat hubungan antara kepribadian, sifat, karakter, pemahaman dan pengaruh lingkungan.Psikologi strukturalisme berusaha mencari strukturasi sifat-sifat manusia dan hubungan-hubungan yang tersembunyi dalam kepribadiannya.
Kelemahan yang didapatkan dari teori koherensi adalah: Pertama, Pernyataan yang tidak koheren (melekat satu sama lain) secara otomatis tidak tergolong kepada suatu kebenaran, namun pernyataan yang koheren juga tidak otomatis tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya saja diantara pernyataan “anakku mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-acak pekerjaanku” adalah sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan kebenaran, jika hanya dipertimbangkan dari teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang yang berkata, “Sundel Bolong telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan dianggap salah oleh saya karena tidak konsisten dengan kepercayaan saya. Kedua, sama halnya dalam mengecek apakah setiap pernyataan berhubungan dengan realitasnya, kita juga tidak akan mampu mengecek apakah ada koherensi diantara semua pernyataan yang benar.
3.      Teori Pragmatik (The Pragmatic Theory of Truth)
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Teori Pragmatis (The Pragmatic Theory of Truth) memandang bahwa “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis”; dengan kata lain, “suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”.
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan (Titus, 1987:241), Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan manusia. Kata kunci teori ini adalah: kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequencies).[5] Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi benar dilihat dari realisasi proposisi itu.Jadi, benar-tidaknya tergantung pada konsekuensi, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis, sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan.
Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia”. Dalam pendidikan, misalnya di UNJ, prinsip kepraktisan (practicality) juga mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing Fakultas Teknik lebih dipilih karena dianggap pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya.
Mengenai kebenaran tentang “Adanya Tuhan” atau menjawab pertanyaan “Does God exist ?”, para penganut paham pragmatis tidak mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether really or ideally). Yang menjadi perhatian mereka adalah makna praktis atau dalam ungkapan William James “…. they have a definite meaning for our practice. We can act as if there were a God”. Dalam hal ini, menurut penganut pragmatis, kepercayaan atau keyakinan yang membawa pada hasil yang terbaik yang menjadi justifikasi dari segala tindakan kita dan yang meningkatkan suatu kesuksesan adalah kebenaran. Teori pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas maupun putusan/hukum yang telah ada. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless).Karena istilah “berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak.
Pragmatisme memang benar untuk menegaskan karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan, dan kapasitas kognitif manusia. Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang terbaik dari keseluruhan teori.Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya.
4.      Teori Performatif
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian Muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus (1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris.
Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional.Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.
5.      Teori Proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.
6.      Teori Struktural Paradigmatik
Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut. Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut. Pandangan apriori ini disebut paradigma oleh Kuhn dan world view oleh Sardar. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama.
Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis.
Pengujian suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut dalam memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah bagian dari kompetisi di antara dua paradigma yang bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan masyarakat sains. Falsifikasi terhadap suatu paradigma akan menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak karena hasilnya negatif. Teori baru yang memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi. Proses verifikasi-falsifikasi memiliki kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan memungkinkan adanya penjelasan tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara fakta dan teori. Perubahan dari paradigma lama ke paradigma baru adalah pengalaman konversi yang tidak dapat dipaksakan. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas. Adanya jaringan yang kuat dari para ilmuwan sebagai peneliti konseptual, teori, instrumen, dan metodologi merupakan sumber utama yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan pemecahan berbagai masalah.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kebenaran adalah kenyataan yang benar-benar terjadi. Pernyataan yang pasti, dan tidak dapat dipungkiri lagi.     Kita manusia bukan hanya sekedar ingin tahu, tetapi ingin mengetahui kebenaran. Kita juga selalu ingin memiliki pengetahuan yang benar. Kebenaran ialah persesuaian antara pengetahuan dan obyeknya. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan obyeknya.
Beberapa pendekatan dalam mencari kebenaran diantaranya adalah dengan pendekatan empiris, pendekatan rasional, pendekatan intuitif, pendekatan religious, dan pendekatan otoritas. Pendekatan ini merupakan cara untuk menjawab rasa kuriositi kita terhadap kebenaran.
Dalam dunia filsafat terdapat beberapa teori tentang rumusan kebenaran. Diantaranya adalah kebenaran korespondensi, kebenaran koherensi, kebenaran pragmatik, kebenaran performatif, kebenaran proposisi dan kebenaran struktural paradigmatik.
Saran
            Makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan masih kurangnya penjelasan lebih rinci mengenai beberapa pendekatan dan teori tentang kebenaran. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
                                               



DAFTAR PUSTAKA


A. Susanto. Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara. 2011.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
Budianto, Irmayanti M. Filsafat dan Metodologi Ilmu Pengetahuan; Refleksi Kritis Atas Kerja Ilmiah. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. 2001.
Hadi, Hardono.  Epistemologi; Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius. 1997.
Hadiwijno, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius. 1981.
Ihsan, A. Fuad.  “Filsafat Ilmu”. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya. 2011.
Jalaluddin dan Abdullah. Filsafat Pendidikan.  Jakarta: Gaya Media Pratama. 1997.
Kattsoft, Louise O. Pengantar Filsafat, cet VII. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1996.
Salam, Burhanuddin.  Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta. 1997.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2000. cet. ke-13.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan,. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2009.



[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 87.
[2] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), cet.ke-13., hlm. 57
[3] Hardono Hadi, Epistemologi; Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 148.
[4] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 116.
[5] Harun Hadiwijno, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1981), hlm. 131.