Makalah
Pengantar Ilmu Pendidikan
Pendidikan
Multi Budaya
Oleh:
Nanda Perdana Putra
Program Studi Ilmu Pendidikan
Islam
Jurusan Ilmu Agama Islam
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
PENDAHULUAN
Bangsa
Indonesia terdiri dari beragam suku dan ras, yang mempunyai budaya, bahasa,
nilai, dan agama atau keyakinan berbeda-beda. Bila bangsa ini ingin menjadi
kuat dalam era demokrasi, diperlukan sikap saling menerima dan menghargai dari
tiap orang yang beraneka ragam itu sehingga dapat saling membantu, bekerja sama
membangun negara ini lebih baik. Perkembangan pembangunan nasional dalam era
industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat
terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya
telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti
ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan
pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi
kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan
geografis memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti
ketimpangan sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.
Kondisi
masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta
status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan
dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya
benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Ahmadiyah, dan
sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan
maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa. Untuk itu
dipandang sangat penting memberikan pendidikan Multibudaya sebagai wacana baru
dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki
kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar
pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada
lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi
maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.
A. PENGERTIAN HAKIKAT PENDIDIKAN MULTIBUDAYA
Pembelajaran Multibudaya
adalah kebijakan dalam praktik pendidikan dalam mengakui, menerima dan
menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan gender, ras,
kelas. Pendidikan Multibudaya adalah suatu sikap dalam memandang keunikan
manusia dengan tanpa membedakan ras, budaya, jenis kelamin, seks, kondisi
jasmaniah atau status ekonomi seseorang. Pendidikan Multibudaya (Multicultural
education) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar
belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk
membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat,
sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk
pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan
demokrasi dalam arti yang luas. Pendidikan Multibudaya didefinisikan sebagai
sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan
budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam
masyarakat. Pembelajaran Multibudaya pada dasarnya merupakan program pendidikan
bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan
kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya.
Dalam konteks
yang luas, pendidikan Multibudaya mencoba membantu menyatukan bangsa secara
demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai
bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah
dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. Kurikulum
menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan
dialek; dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara
mereka dan menunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan
persaingan dan prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras,
etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.
Pembelajaran
berbasis Multibudaya didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan,
keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat
pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif
menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan Multibudaya
bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan pengajaran
inklusif dan pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum yang
berperan bagi kompetisi budaya individual.
Pembelajaran
berbasis Multibudaya berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa
hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja
bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara
langsung. Pendidikan Multibudaya juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan
dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam
mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa
bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat.
Pendidikan Multibudaya diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan
siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda
dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan
budaya, ras, dan etnis.
Tujuan
pendidikan dengan berbasis Multibudaya dapat diidentifikasi: (1) Untuk mefungsikan
peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam; (2) Untuk
membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan
kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan; (3)
Memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil
keputusan dan keterampilan sosialnya; (4) Untuk membantu peserta didik dalam
membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada
mereka mengenai perbedaan.
Di samping itu,
pembelajaran berbasis Multibudaya dibangun atas dasar konsep pendidikan untuk
kebebasan, yang bertujuan untuk: (1) Membantu siswa atau mahasiswa
mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk berpartisipasi di dalam
demokrasi dan kebebasan masyarakat; (2) Memajukan kebebasan, kecakapan,
keterampilan terhadap lintas batas-batas etnik dan budaya untuk berpartisipasi
dalam beberapa kelompok dan budaya orang lain.
B. MODEL-MODEL PERUBAHAN IDENTITAS ETNIK
Dalam kehidupan
kita yang memiliki banyak budaya pastinya ada pula didalamnya kejadian mengenai
Culture Shock. Terdapat beberapa model perubahan identitas etnik,
diantaranya adalah:
o
Model
Perubahan Identitas Penduduk Sementara
Beberapa
penelitian mengonseptualisasikan proses penyesuaian penduduk musiman dari
berbagai perspektif developmental. Konsekuensi menarik dari model-model
deskriptif yang berorientasi jenjang ini berpusat pada pertanyaan apakah
adaptasi penduduk musiman merupakan satu proses kurva-U atau kurva-W. Lysgaard
mengembangkan satu model penyesuaian antarbudaya yang terdiri atas tiga fase
yang mencakup penyesuaian awal, krisis, dan penyesuaian yang diperoleh kembali.
Penyesuaian awal adalah fase optimistis dari proses penyesuaian para penduduk
musiman; yang kedua merupakan fase yang menekan ketika realitas terbentuk dan
penduduk musiman diluapi ketidakmampuan mereka; yang ketiga adalah fase
penetapan, saat penduduk musiman belajar mengatasi lingkungan baru.
Dari
gagasan-gagasan tersebut, Lysgaard mengajukan model kurva-U sebagai proses
penyesuaian penduduk musiman, sekaligus menyatakan bahwa penduduk musiman
melalui fase awal ”bulan madu”, lalu mengalami ”kemerosotan” atau fase yang
membuat tertekan, dan akhirnya menguasai diri mereka hingga mencapai satu fase
dalam mengelola tugas-tugas mereka di luar negeri. Dalam
mengembangkan model kurva-U, Gullahorn mengajukan model kurva-W dengan enam
jenjang: yakni fase bulan madu, permusuhan, penuh humor, merasa seperti di
rumah sendiri, guncangan budaya reentry, dan resosialisasi. Sebagai
pengembangan lebih lanjut dari model Gullahorn ini, dikembangkan model
penyesuaian berbentuk W yang merupakan hasil revisi dengan tujuh jenjang untuk
menjelaskan proses penyesuaian jangka pendek dan menengah dari penduduk
musiman. Ketujuh jenjang tersebut adalah jenjang bulan madu, permusuhan, penuh
humor, in-sync, ambivalensi, guncangan budaya, dan resosialisasi.
Pada tahap
bulan madu, penduduk musiman sangat bersemangat menghadapi lingkungan budaya
baru mereka. Pada tahap permusuhan, mereka mengalami kebingungan dan
disorientasi identitas yang hebat, tak ada satu hal pun yang berhasil dalam
fase ini. Dalam tahap penuh humor, penduduk musiman belajar menertawakan
kecerobohan-kecerobohan budaya mereka dan mulai menyadari bahwa ada pro dan
kontra dalam tiap budaya, seperti ada baik dan buruk dalam tiap masyarakat.
Dalam tahap in-sync, mereka mulai merasa seperti ada di lingkungan sendiri dan
mengalami keamanan dan inklusi identitas. Batas antara outsider dan insider
semakin kabur dan para pendatang mengalami penerimaan dan dukungan sosial. Saat
telah berada di zona kenyamanan, mereka harus pulang. Dalam tahap ambivalensi,
mereka mengalami duka, nostalgia, dan kebanggaan, yang bercampur dengan rasa
lega sekaligus sedih karena mereka akan pulang.
Dalam tahap
guncangan budaya saat masuk kembali, penduduk musiman menghadapi satu sentakan
tak terduga. Karena sifatnya yang tak terduga, guncangan budaya reentry
biasanya berdampak lebih hebat. Mereka biasanya merasa lebih tertekan
dibandingkan dengan ketika mereka masuk. Pada tahap resosialisasi, beberapa
individu secara diam-diam mengasimilasikan diri mereka kembali pada peran-peran
dan perilaku lama mereka tanpa menimbulkan gelombang atau tanpa tampil berbeda
dari kolega-kolega mereka. Beberapa individu lain tak dapat masuk kembali ke
dalam budaya asal mereka (alienator). Beberapa individu lain mungkin menjadi
agen perubahan dalam budaya atau organisasi asal mereka. Mereka secara penuh
pertimbangan mengintegrasikan pengalaman belajar di luar negeri dengan hal-hal
positif lain dari budaya asal mereka. Mereka menerapkan cara berpikir
multidimensional, kecerdasan emosi yang diperkaya, dan berbagai sudut pandang
dalam memecahkan masalah atau mendorong perubahan demi terciptanya organisasi
pembelajaran yang benar-benar inklusif. Mereka juga tidak takut terlihat
berbeda di tempat asal mereka karena mereka memiliki pengalaman menjadi orang
yang berbeda saat di luar negeri. Mereka merasa nyaman dengan proses berayun
identitas ganda. Para transformer ini menjadi individu-individu yang telah
memiliki kecermatan, rasa iba, dan kebijakan.
Pada dasarnya,
model penyesuaian berbentuk W yang telah direvisi menekankan beberapa
karakteristik selama proses perubahan identitas para penduduk musiman:
1. Mereka perlu
memahami puncak dan titik rendah, pergeseran positif dan negatif, yang
membentuk perubahan identitas dalam lingkungan asing, menyadari bahwa perubahan
naik-turun perasaan merupakan bagian dari proses perubahan dan perkembangan,
2. Mereka mesti
menyadari dan mengikuti tujuan instrumental, relasional dan identitas mereka
dalam budaya baru; kesuksesan dalam satu set tujuan tertentu mempengaruhi
keberhasilan mencapai tujuan lain,
3. Mereka perlu memberikan diri mereka waktu dan ruang untuk
menyesuaikan diri,
4. Mereka perlu
mengembangkan ikatan kuat dan ikatan lemah untuk melindungi mereka dan tempat
mencari bantuan pada saat diperlukan,
5. Mereka
perlu mencari kesempata untuk berpartisipasi dalam event budaya besar milik
budaya tuan rumah dan melibatkan diri dalam kesempatan langka itu serta belajar
menikmati budaya lokal semaksimal mungkin.
o
Model
Perubahan Identitas Imigran dan Minoritas
Akulturasi adalah proses beranekasegi dan multidimensional
yang melibatkan proses perubahan level sistem dan individu. Para antropologis
mengartikan akulturasi sebagai kontak langsung yang berlangsung terus-menerus
antara kelompok-kelompok individu yang memproduksi perubahan berikutnya dalam
pola-pola budaya salah satu atau dua kelompok tersebut. Transformasi individu
ini dapat terjadi dalam masyarakat yang monokultural atau pluralistis.
Dalam masyarakat monokultural dengan tuntutan akan
konformitas yang tinggi, akulturasi bagi inhabitan jangka panjang secara
tipikal bersifat unidirectional. Dalam masyarakat pluralistis, akulturasi dapat
mengambil banyak bentuk dan arah. Konsep akulturasi melibatkan banyak isu,
seperti batas dalam kelompok/ luar kelompok, tekanan konformitas, perilaku dan
hubungan kelompok minoritas-mayoritas, dan pemeliharaan warisan etnis serta
asimilasi budaya yang lebih besar.
Dari perspektif tipologis minoritas-mayoritas, penonjolan
identitas etnis/kultural dapat dipandang sebagai model empat rangkap yang menekankan
orientasi individu terhadap isu-isu pemeliharaan identitas etnis dan identitas
budaya yang lebih besar.
Menurut Berry, imigran yang cenderung mengedepankan
pemeliharaan tradisi etnis dan merendahkan siginifikansi nilai-nilai dan
norma-norma budaya baru menerapkan opsi yang berorientasi tradisional. Individu
yang mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan pada saat yang bersamaan
menampakkan gerakan untuk menjadi bagian dari masyarakat yang lebih besar, menerapkan
opsi yang berorientasi bikultural atau integratif. Individu yang menganggap
rendah signifikansi nilai-nilai dan norma-norma etnis mereka dan cenderung
memandang diri mereka sebagai anggota masyarakat yang lebih besar, menerapkan
opsi asimilasi. Individu yang kehilangan kontak psikologis/etnis dengan
kelompok etnis sekaligus masyarakat yang lebih besar dan mengalami perasaan
alienasi dan kehilangan identitas, mengalami marjinalisasi.
C.
LANGKAH-LANGKAH IMPLEMENTASI FILOSOFI BHINEKA TUNGGAL IKA DALAM DUNIA
PENDIDIKAN
Agar pendidikan
lebih Multibudaya, maka kurikulum, model pembelajaran, dan suasana sekolah
harus diseragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada , dan peran guru harus
dibuat Multibudaya, serta peran keluarga yang sangat penting untuk pelaksanaan
Multibudaya. Isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum harus menghargai perbedaan
dan tidak diskriminatif. Isi dan bahan ajar di sekolah perlu dipilih yang
sungguh menekankan pengenalan dan penghargaan terhadap budaya dan nilai lain.
Pertama,
misalnya dalam semua bidang pelajaran, dimasukkan nilai dan tokoh-tokoh dari
budaya lain agar siswa mengerti bahwa dalam tiap budaya, ilmu itu dikembangkan.
Contoh-contoh ilmuwan dan hasil teknologi, perlu diambil dari berbagai budaya
dan latar belakang termasuk jender. Kesamaan dan perbedaan antarbudaya perlu
dijelaskan dan dimengerti. Siswa dibantu untuk kian mengerti nilai budaya lain,
menerima dan menghargainya. Misalnya, dalam mengajarkan makanan, pakaian, cara
hidup, bukan hanya dijelaskan dari budayanya sendiri, tetapi juga yang lain.
Kedua, model
pembelajaran dalam kelas pun perlu diwarnai multikultural, yaitu dengan
menggunakan berbagai pendekatan berbeda-beda. Penyajian bahan, termasuk
matematika, dalam memberi contoh, guru perlu memilih yang beraneka nilai.
Buku-buku yang ditulis dalam pelajaran pun perlu disusun untuk menghargai
budaya lain dan penghargaan jender.
Ketiga, suasana
sekolah amat penting dalam penanaman nilai multibudaya. Sekolah harus dibangun
dengan suasana yang menunjang penghargaan budaya lain. Relasi guru, karyawan,
siswa yang berbeda budaya diatur dengan baik, ada saling penghargaan. Anak dari
kelompok lain tidak ditolak tetapi dihargai.
Keempat, dengan
menyeragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada, baik dari segi budaya,
agama, nilai, dan lain-lain. Sikap saling menerima, menghargai nilai, budaya,
keyakinan yang berbeda tidak otomatis akan berkembang sendiri. Apalagi karena
dalam diri seseorang ada kecenderungan untuk mengharapkan orang lain menjadi
seperti dirinya.
Kelima, dengan
sikap saling menerima dan menghargai akan cepat berkembang bila dilatihkan dan
dididikkan pada generasi muda dalam sistem pendidikan nasional. Dengan
pendidikan, sikap penghargaan terhadap perbedaan yang direncana baik, generasi
muda dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan
budaya lain bahkan melatihnya dalam hidup sehingga sewaktu mereka dewasa sudah
mempunya sikap itu. Di sini pemerintah dan tiap sekolah perlu memikirkan model
dan bentuk yang sesuai.
Keenam, lewat
penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium
pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya,
agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau untuk hidup bersama
secara damai.
Agar proses ini
berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan Multibudaya
disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta jika
mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai
jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma
multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU
N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa
pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
James A. Banks,
mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan Multibudaya yang diperkirakan
dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu
merespon terhadap perbedaan pelajar (siswa), yaitu:
- Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.
- Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri;
- Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.
- Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan, persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar.
- Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstrakurikuler dan penghargaan staff dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.
Pendekatan yang
bisa dipakai dalam proses pembelajaran di kelas Multibudaya adalah pendekatan
kajian kelompok tunggal (Single Group Studies) dan pendekatan perspektif ganda
(Multiple Perspektives Approach). Pendidikan Multibudaya di Indonesia pada
umumnya memakai pendekatan kajian kelompok tunggal. Pendekatan ini dirancang
untuk membantu siswa dalam mempelajari pandangan-pandangan kelompok tertentu
secara lebih mendalam. Oleh karena itu, harus tersedia data-data tentang
sejarah kelompok itu, kebiasaan, pakaian, rumah, makanan, agama yang dianut,
dan tradisi lainnya. Data tentang kontribusi kelompok itu terhadap perkembangan
musik, sastra, ilmu pengetahuan, politik dan lain-lain harus dihadapkan pada
siswa. Pendekatan ini terfokus pada isu-isu yang sarat dengan nilai-nilai
kelompok yang sedang dikaji.
Sedangkan
pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspectives) adalah pendekatan yang
terfokus pada isu tunggal yang dibahas dari berbagai perspektif
kelompok-kelompok yang berbeda. Pada umumnya, guru-guru memiliki berbagai
perspektif dalam pembelajarannya.
Pendekatan
perspektif ganda membantu siswa untuk menyadari bahwa suatu peristiwa umum sering
diinterpretasikan secara berbeda oleh orang lain, dimana interpretasinya sering
didasarkan atas nilai-nilai kelompok yang mereka ikuti. Solusi yang dianggap
baik oleh suatu kelompok (karena solusi itu sesuai dengan nilai-nilainya),
sering tidak dianggap baik oleh kelompok lainnya karena tidak cocok dengan
nilai yang diikutinya. Keunggulan pendekatan perspektif ganda ini terletak pada
proses berpikir kritis terhadap isu yang sedang dibahas sehingga mendorong
siswa untuk menghilangkan prasangka buruk. Interaksi dengan pandangan kelompok
yang berbeda-bebada memungkinkan siswa untuk berempati. Hasil penelitian
membuktikan bahwa siswa yang rendah prasangkanya menunjukkan sikap yang lebih
sensitif dan terbuka terhadap pandangan orang lain. Mereka juga mampu berpikir
kritis, karena mereka lebih bersikap terbuka, fleksibel, dan menaruh hormat
pada pendapat yang berbeda. Bahan pelajaran dan aktivitas belajar yang kuat
aspek afektifnya tentang kehidupan bersama dalam perbedaan kultur terbukti
efektif untuk mengembangkan perspektif yang fleksibel. Siswa yang memiliki rasa
empati yang besar memungkinkan dia untuk menaruh rasa hormat terhadap perbedaan
cara pandang. Tentu saja hal itu akan mampu mengurangi prasangka buruk terhadap
kelompok lain. Membaca buku sastra multietnik dapat mengurangi stereotipe
negatif tentang budaya orang lain. Pendekatan perspektif ganda mengandung dua
sasaran yaitu meningkatkan empati dan menurunkan prasangka. Empati terhadap
kultur yang berbeda merupakan prasyarat bagi upaya menurunkan prasangka.
KESIMPULAN
Pendidikan Multibudaya
didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada
prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara
seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pembelajaran Multibudaya pada
dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat
berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya.
Terdapat
beberapa model perubahan identitas etnik, yang pertama adalah Model Perubahan
Identitas Penduduk Sementara. Lysgaard mengembangkan satu model penyesuaian
antarbudaya yang terdiri atas tiga fase yang mencakup penyesuaian awal, krisis,
dan penyesuaian yang diperoleh kembali. Penyesuaian awal adalah fase optimistis
dari proses penyesuaian para penduduk musiman, yang kedua merupakan fase yang
menekan ketika realitas terbentuk dan penduduk musiman diluapi ketidakmampuan
mereka, yang ketiga adalah fase penetapan, saat penduduk musiman belajar
mengatasi lingkungan baru.
Yang
kedua adalah Model Perubahan
Identitas Imigran dan Minoritas. Imigran yang cenderung mengedepankan
pemeliharaan tradisi etnis dan merendahkan siginifikansi nilai-nilai dan
norma-norma budaya baru menerapkan opsi yang berorientasi tradisional. Individu
yang mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan pada saat yang bersamaan
menampakkan gerakan untuk menjadi bagian dari masyarakat yang lebih besar, menerapkan
opsi yang berorientasi bikultural atau integratif. Individu yang menganggap
rendah signifikansi nilai-nilai dan norma-norma etnis mereka dan cenderung
memandang diri mereka sebagai anggota masyarakat yang lebih besar, menerapkan
opsi asimilasi. Individu yang kehilangan kontak psikologis/etnis dengan
kelompok etnis sekaligus masyarakat yang lebih besar dan mengalami perasaan
alienasi dan kehilangan identitas, mengalami marjinalisasi.
Dalam mengimplementasikan filosofi
Bhineka Tunggal Ika dalam dunia pendidikan, James
A. Banks mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan Multibudaya yang
diperkirakan dapat membantu guru dalam pelaksanaan tersebut. Lima dimensi
tersebut adalah: 1) Dimensi integrasi isi/materi (content integration). 2) Dimensi
konstruksi pengetahuan (knowledge construction). 3) Dimensi pengurangan
prasangka (prejudice ruduction). 4) Dimensi pendidikan yang sama/adil
(equitable pedagogy). Dan 5) Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur
sosial (empowering school culture and social structure).
DAFTAR PUSTAKA
Ainul Yaqin. 2005. Pendidikan Multikultural, Pilar Media: Yogyakarta.
Ainurrofiq Dawam. 2006. Pendidikan Multikultural, Penerbit
Inspeal: Yogyakarta
Banks,
J.A. 1997. Multicultural Education-Issue and Perspectives, Ellyn and Bacon:
Boston.
Byrnes, D.A. 1988. “Children and
Prejudice”, Social Education.
Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat.
2001. Komunikasi MultiBudaya, Rosda Karya: Bandung