TUGAS
INDIVIDU
Substansi Filsafat Ilmu: Kebenaran
NAMA:
NANDA PERDANA PUTRA
NRM:
4715092430
IPI
2009
KATA PENGANTAR
Assalamu'alakum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT
karena atas rahmat dan karunia-Nyalah pembuatan makalah ini dapat selesai
dengan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata
Kuliah Filsafat Ilmu.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun
melibatkan berbagai pihak yang turut membantu baik berupa moril maupun materil,
maka penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu
Rihlah Nur Aulia selaku dosen mata kuliah Filsafat Ilmu.
2. Orang
tua yang selalu memberikan bantuan baik berupa moril maupun materil.
3. Millata Hanifa yang selalu hadir mendampingi saya.
4. Teman-teman
khususnya IPI 2009 yang selalu memberikan dorongan agar makalah ini selesai
dengan baik dan tepat waktu.
Harapan
penyusun semoga makalah ini dapat mendatangkan banyak manfaat bagi para pembaca
khususnya penyusun sendiri.
Penyusun
mohan maaf apabila dalam penulisan ada kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan maupun isi makalah ini.
Wabillahitaufiq
Walhidayah Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, Januari 2012
Nanda Perdana Putra
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR.......................................................................................2
DAFTAR
ISI.....................................................................................................3
PENDAHULUAN............................................................................................4
PEMBAHASAN..............................................................................................5
A.
Pengertian Kebenaran...............................................................................5
B.
Pendekatan Dalam Mencari
Kebenaran..................................................5
1.
Pendekatan
Empiris.................................................................5
2.
Pendekatan Rasional...............................................................5
3.
Pendekatan
Intuitif...................................................................5
4.
Pendekatan Religius................................................................6
5.
Pendekatan
Otoritas................................................................6
C.
Teori Kebenaran Menurut
Filsafat...........................................................6
1.
Teori
Korenpondensi...............................................................6
2.
Teori Koherensi.......................................................................7
3.
Teori
Pragmatik........................................................................9
4.
Teori Performatif.....................................................................10
5.
Teori
Proposisi.........................................................................11
6.
Teori Struktural Paradigmatik................................................11
KESIMPULAN DAN
SARAN.......................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 14
PENDAHULUAN
Manusia
selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh
kebenaran antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan
melalui pengalaman atau secara empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh
manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional agar kejadian-kejadian
yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Struktur pengetahuan manusia
menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap kebenaran.Setiap tingkat
pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda.Tingkat
pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Sedangkan
tingkat yang lebih rendah dalam menangkap kebenaran adalah pengetahuan indra
dan naluri karena tidak terstruktur dan pada umumnya kabur. Oleh sebab itu pengetahuan
harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Proses
pencarian kebenaran tentu bukan hal yang mudah dan dapat dikatakan merupakan proses
yang sangat melelahkan, bahkan bukan tidak mungkin akan mendatangkan
keputusasaan. Manusia, yang pada dasarnya adalah makhluk yang selalu bertanya
dan selalu merasa ingin tahu pada akhirnya memutuskan untuk tetap selalu mencari
kebenaran, tidak peduli betapa keputusasaan telah mengepungnya dari berbagai arah.
Tujuan akhirnya adalah kebenaran harus ditemukan.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian kebenaran
Kebenaran
adalah kenyataan yang benar-benar terjadi. Pernyataan yang pasti, dan tidak
dapat dipungkiri lagi. Kita manusia selalu ingin tahu kebenaran, karena hanya
kebenaranlah yang bisa memuaskan rasa ingin tahu kita, dengan kata lain tujuan
pengetahuan ialah mengetahui kebenaran. Tujuan ilmu juga mencapai kebenaran,
dalam ilmu, kita manusia ingin memperoleh pengetahuan yang benar, karena ilmu
merupakan pengetahuan yang sistematis, maka pengetahuan yang dituju ilmu adalah
pengetahuan ilmiah.
Kita manusia
bukan hanya sekedar ingin tahu, tetapi ingin mengetahui kebenaran.Kita juga
selalu ingin memiliki pengetahuan yang benar. Kebenaran ialah persesuaian
antara pengetahuan dan obyeknya. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang
sesuai dengan obyeknya.
B.
Pendekatan dalam mencari kebenaran
Dalam mencari
kebenaran terdapat beberapa pendekatan yaitu dengan pendekatan empiris,
pendekatan rasional, pendekatan intuitif, pendekatan religius, dan pendekatan
otoritas.[1]
1.
Pendekatan
Empiris
Manusia
mempunyai seperangkat indera yang berfungsi sebagai penghubung dirinya dengan
dunia nyata, dengan inderanya manusia mampu mengenal berbagai hal yang ada di
sekitarnya.Kenyataan seperti ini menyebabkan timbulnya anggapan bahwa kebenaran
dapat diperoleh melalui penginderaan atau pengalaman.
Bagi yang
mempercayai bahwa penginderaan merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh
kebenaran disebut sebagai kaum empiris. Bagi golongan ini, pengetahuan itu
bukan didapatkan melalui penalaran rasional yang abstrak, namun melalui
pengalaman yang konkrit.
2.
Pendekatan
Rasional
Cara lain untuk
mendapatkan kebenaran adalah dengan mengandalkan rasio, upaya ini sering
disebut sebagai pendekatan rasional. Manusia merupakan makhluk hidup yang dapat
berpikir, sehingga dengan kemampuannya tersebut manusia dapat menangkap ide
atau prinsip tentang sesuatu, yang pada akhirnya sampai pada kebenaran, yaitu
kebenaran rasional.
3.
Pendekatan
Intuitif
Pendekatan ini
merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran tertentu.
Misalkan Seseorang yang sedang menghadapi suatu masalah secara tiba-tiba
menemukan jalan pemecahan dari masalah yang dihadapi.
4.
Pendekatan
Religius
Kita sebagai
makhluk Tuhan yang diberi akal pikiran harus menyadari bahwa alam semesta
beserta isinya ini diciptakan dan dikendalikan oleh kekuatan Tuhan. Upaya untuk
memperoleh kebenaran dengan jalan seperti ini disebut sebagai pendekatan
religius.
5.
Pendekatan
Otoritas
Yang dimaksud
dengan pendekatan otoritas ini adalah seseorang yang memiliki kelebihan
tertentu dibandingkan dengan orang lain. Kelebihan-kelebihan tersebut bisa
berupa kekuasaan, kemampuan intelektual, keterampilan, pengalaman, dan
sebagainya. Yang memiliki kelebihan-kelebihan seperti itu disegani, ditakuti,
ataupun dijadikan figur panutan. Apa yang mereka nyatakan akan diterima sebagai
suatu kebenaran.
C.
Teori kebenaran menurut filsafat
Terdapat
berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional, kita
mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik.
Sementara, Michael William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu:
kebenaran korespondensi, kebenaran koherensi, kebenaran pragmatik, kebenaran
performatif dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu
teori lagi yaitu kebenaran struktural paradigmatik.
1.
Teori Korespondensi (The
Correspondence Theory of Truth)
Teori kebenaran korespondensi adalah
teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika
berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek
yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar
jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta.
Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan
menyatakan apa adanya. Teori ini sering diasosiasikan dengan teori-teori
empiris pengetahuan. Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang
paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional
karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran
pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.[2]
Kelemahan
yang didapatkan dari teori korespondensi adalah: Pertama, teori korespondensi
memberikan gambaran yang kurang tepat dan yang terlalu sederhana mengenai
bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu
pernyataan. Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan yang dianggap sebagai
sesuatu yang benar didasarkan dari suatu latar belakang kepercayaannya
masing-masing. Kedua, teori korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam
mengukur suatu kebenaran kita harus melihat setiap pernyataan satu-per-satu, apakah
pernyataan tersebut berhubungan dengan realitasnya atau tidak. ”Lalu bagaimana
jika kita tidak mengetahui realitasnya? Bagaimanapun terdapat kesulitan dalam
melakukan hal tersebut. Adapun yang ketiga adalah, Kelemahan teori kebenaran
korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan,
atau indera tidak normal lagi. Di samping itu teori kebenaran korespondensi
tidak berlaku pada objek/bidang nonempiris atau objek yang tidak dapat
diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia
harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan
objektifanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.[3]
2.
Teori Koherensi (The Coherence
Theory of Truth)
Teori kebenaran koherensi adalah teori
kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu
pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari
pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini
mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain. Seperti sebuah percepatan
terdiri dari konsep-konsep yang saling berhubungan darimassa, gaya dan
kecepatan dalam fisika.
Teori
Koherensi/Konsistensi (The Consistence/Coherence Theory of Truth) memandang
bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan
pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan
diakui sebagai benar. Suatu proposisi dianggap benar jika proposisi itu
berhubungan (koheren) dengan proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan
tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar. Dengan demikian suatu putusan dianggap benar
apabila mendapat penyaksian (pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang
terdahulu yang sudah diketahui, diterima dan diakui benarnya. Karena sifatnya
demikian, teori ini mengenal tingkat-tingkat kebenaran. Disini derajar
koherensi merupakan ukuran bagi derajat kebenaran. Contoh: “Semua manusia akan
mati. Si Fulan adalah seorang manusia. Si Fulan pasti akan mati.“Sukarno adalah
ayahanda Megawati.Sukarno mempunyai puteri.Megawati adalah puteri Sukarno”.
Seorang
sarjana Barat A.C Ewing menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa
koherensi yang sempurna merupakan suatu ideal yang tak dapat dicapai, akan
tetapi pendapat-pendapat tersebut dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari
ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana
pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul
dengan sendirinya dari pernyataan tersebut tanpa berkontradiksi dengan
pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa
melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap
kebenaran aritmatik tersebut adalah angka apa saja.
Teori koherensi,
pada kenyataannya kurang diterima secara luas dibandingkan teori
korespondensi.Teori ini punya banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan.Misalnya,
astrologi mempunyai sistem yang sangat koheren, tetapi kita tidak menganggap
astrologi benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta
atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu
sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten
dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui
kebenarannya.[4]
Matematika
adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan
teori koheren. Sistem matematika disusun diatas beberapa dasar pernyataan yang
dianggap benar (aksioma). Dengan mempergunakan beberapa aksioma, maka disusun
suatu teorema. Dan diatas teorema-lah, maka dikembangkan kaidah-kaidah
matematika yang secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang konsisten.
Salah
satu dasar teori ini adalah hubungan logis dari suatu proposisi dengan proposisi
sebelumnya. Proposisi atau pernyataan adalah apa yang dinyatakan, diungkapkan
dan dikemukakan atau menunjuk pada rumusan verbal berupa rangkaian kata-kata
yang digunakan untuk mengemukakan apa yang hendak dikemukakan. Proposisi
menunjukkan pendirian atau pendapat tentang hubungan antara dua hal dan
merupakan gabungan antara faktor kuantitas dan kualitas. Contohnya tentang
hakikat manusia, baru dikatakan utuh jika dilihat hubungan antara kepribadian,
sifat, karakter, pemahaman dan pengaruh lingkungan.Psikologi strukturalisme
berusaha mencari strukturasi sifat-sifat manusia dan hubungan-hubungan yang
tersembunyi dalam kepribadiannya.
Kelemahan
yang didapatkan dari teori koherensi adalah: Pertama, Pernyataan yang tidak
koheren (melekat satu sama lain) secara otomatis tidak tergolong kepada suatu
kebenaran, namun pernyataan yang koheren juga tidak otomatis tergolong kepada
suatu kebenaran. Misalnya saja diantara pernyataan “anakku mengacak-acak
pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-acak pekerjaanku” adalah sesuatu yang sulit
untuk diputuskan mana yang merupakan kebenaran, jika hanya dipertimbangkan dari
teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang yang berkata, “Sundel Bolong
telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan dianggap salah oleh saya karena
tidak konsisten dengan kepercayaan saya. Kedua, sama halnya dalam mengecek
apakah setiap pernyataan berhubungan dengan realitasnya, kita juga tidak akan
mampu mengecek apakah ada koherensi diantara semua pernyataan yang benar.
3.
Teori Pragmatik (The Pragmatic Theory
of Truth)
Teori kebenaran pragmatis adalah
teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada
konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori
tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia
untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis. Teori Pragmatis (The Pragmatic Theory of Truth) memandang
bahwa “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut
bersifat fungsional dalam kehidupan praktis”; dengan kata lain, “suatu
pernyataan adalah benar jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam
kehidupan manusia”.
Pragmatisme
menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka
ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability)
atau akibat yang memuaskan (Titus, 1987:241), Sehingga dapat dikatakan bahwa
pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa
yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang
bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana
kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan manusia. Kata
kunci teori ini adalah: kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability),
akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequencies).[5]
Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi benar dilihat dari
realisasi proposisi itu.Jadi, benar-tidaknya tergantung pada konsekuensi,
kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut
bersifat fungsional dalam kehidupan praktis, sepanjang proposisi itu berlaku
atau memuaskan.
Menurut
teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu
pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan
itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia”. Dalam pendidikan,
misalnya di UNJ, prinsip kepraktisan (practicality) juga mempengaruhi jumlah
mahasiswa pada masing-masing Fakultas Teknik lebih dipilih karena dianggap
pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya.
Mengenai
kebenaran tentang “Adanya Tuhan” atau menjawab pertanyaan “Does God exist ?”,
para penganut paham pragmatis tidak mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik
dalam ralitas atau idea (whether really or ideally). Yang menjadi perhatian
mereka adalah makna praktis atau dalam ungkapan William James “…. they have a
definite meaning for our practice. We can act as if there were a God”. Dalam
hal ini, menurut penganut pragmatis, kepercayaan atau keyakinan yang membawa
pada hasil yang terbaik yang menjadi justifikasi dari segala tindakan kita dan
yang meningkatkan suatu kesuksesan adalah kebenaran. Teori pragmatis
meninggalkan semua fakta, realitas maupun putusan/hukum yang telah ada.
Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut
sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan. Apa
yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan
salah adalah yang tidak berguna (useless).Karena istilah “berguna” atau
“fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori ini tidak mengakui adanya
kebenaran yang tetap atau mutlak.
Pragmatisme
memang benar untuk menegaskan karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan, dan
kapasitas kognitif manusia. Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang
terbaik dari keseluruhan teori.Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan
dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis
pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi
demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis
selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu
dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian,
disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru,
maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya.
4.
Teori Performatif
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran
diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama
mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian Muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau
keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa
ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa rezim
orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat.
Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan
atau memiliki atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada
masa pertumbuhan ilmu, Copernicus (1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan
bukan sebaliknya seperti yang difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang
benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh gereja walaupun bertentangan dengan
bukti-bukti empiris.
Dalam
fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif.
Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama,
pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat
membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib,
adat yang stabil dan sebagainya.
Masyarakat
yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan
rasional.Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti
kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih
sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka
tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan
rasio untuk mencari kebenaran.
5.
Teori Proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan
yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif
individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila
proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah
bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari
Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan
dilihat dari benar materialnya.
6.
Teori Struktural Paradigmatik
Suatu teori dinyatakan benar jika
teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas
ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut. Banyak sejarawan dan
filosof sains masa kini menekankan bahwa serangkaian fenomena atau realitas
yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh
pandangan tertentu tentang realitas yang telah diterima secara apriori oleh
kelompok tersebut. Pandangan apriori ini disebut paradigma oleh Kuhn dan world
view oleh Sardar. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh
anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains
adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama.
Masyarakat
sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai
konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa
menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota
kelompok menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan
keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa
melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai
keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis.
Pengujian
suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut dalam
memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah bagian dari
kompetisi di antara dua paradigma yang bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan
masyarakat sains. Falsifikasi terhadap suatu paradigma akan menyebabkan suatu
teori yang telah mapan ditolak karena hasilnya negatif. Teori baru yang
memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi. Proses verifikasi-falsifikasi
memiliki kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan memungkinkan adanya
penjelasan tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara fakta dan teori.
Perubahan dari paradigma lama ke paradigma baru adalah pengalaman konversi yang
tidak dapat dipaksakan. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai
kemampuan relatif suatu paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma
mana yang pada masa mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan
berbagai masalah secara tuntas. Adanya jaringan yang kuat dari para ilmuwan
sebagai peneliti konseptual, teori, instrumen, dan metodologi merupakan sumber
utama yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan pemecahan berbagai masalah.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kebenaran
adalah kenyataan yang benar-benar terjadi. Pernyataan yang pasti, dan tidak
dapat dipungkiri lagi. Kita manusia
bukan hanya sekedar ingin tahu, tetapi ingin mengetahui kebenaran. Kita juga
selalu ingin memiliki pengetahuan yang benar. Kebenaran ialah persesuaian
antara pengetahuan dan obyeknya. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang
sesuai dengan obyeknya.
Beberapa
pendekatan dalam mencari kebenaran diantaranya adalah dengan pendekatan
empiris, pendekatan rasional, pendekatan intuitif, pendekatan religious, dan
pendekatan otoritas. Pendekatan ini merupakan cara untuk menjawab rasa
kuriositi kita terhadap kebenaran.
Dalam
dunia filsafat terdapat beberapa teori tentang rumusan kebenaran. Diantaranya
adalah kebenaran korespondensi, kebenaran koherensi, kebenaran pragmatik,
kebenaran performatif, kebenaran proposisi dan kebenaran struktural
paradigmatik.
Saran
Makalah
ini masih jauh dari sempurna dikarenakan masih kurangnya penjelasan lebih rinci
mengenai beberapa pendekatan dan teori tentang kebenaran. Penulis mengharapkan
saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Susanto. Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis,
Epistimologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara. 2011.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
Budianto, Irmayanti M. Filsafat dan Metodologi Ilmu Pengetahuan; Refleksi
Kritis Atas Kerja Ilmiah. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. 2001.
Hadi, Hardono. Epistemologi;
Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius. 1997.
Hadiwijno, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.
1981.
Ihsan, A. Fuad. “Filsafat Ilmu”.
Jakarta: PT. Asdi Mahasatya. 2011.
Jalaluddin dan Abdullah. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1997.
Kattsoft, Louise O. Pengantar Filsafat, cet VII. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya. 1996.
Salam, Burhanuddin. Logika
Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta. 1997.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan. 2000. cet. ke-13.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi Pengetahuan,. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2009.
[1] Ahmad Tafsir, Filsafat
Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 87.
[2] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000),
cet.ke-13., hlm. 57
[3] Hardono Hadi, Epistemologi;
Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 148.
[4] Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 116.
[5] Harun Hadiwijno, Sari
Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1981), hlm. 131.
makasih udah nambah pengetahuan saya
BalasHapusSama-sama mbak jenni :)
Hapusbagus makalahnya
BalasHapus