Senin, 02 April 2012

Substansi Filsafat Ilmu: Kebenaran

TUGAS INDIVIDU
Substansi Filsafat Ilmu: Kebenaran


NAMA: NANDA PERDANA PUTRA
NRM: 4715092430
IPI 2009

KATA PENGANTAR
Assalamu'alakum Wr. Wb.
           Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nyalah pembuatan makalah ini dapat selesai dengan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu.
          Dalam penyusunan makalah ini, penyusun melibatkan berbagai pihak yang turut membantu baik berupa moril maupun materil, maka penyusun mengucapkan terima kasih kepada: 

1.   Ibu Rihlah Nur Aulia selaku dosen mata kuliah Filsafat Ilmu. 

2.   Orang tua yang selalu memberikan bantuan baik berupa moril maupun materil.

3.   Millata Hanifa yang selalu hadir mendampingi saya. 

4.  Teman-teman khususnya IPI 2009 yang selalu memberikan dorongan agar makalah ini selesai dengan baik dan tepat waktu.

Harapan penyusun semoga makalah ini dapat mendatangkan banyak manfaat bagi para pembaca khususnya penyusun sendiri.
Penyusun mohan maaf apabila dalam penulisan ada kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan maupun isi makalah ini.

Wabillahitaufiq Walhidayah Wassalamualaikum Wr. Wb.






                                                                                                   Jakarta, Januari 2012


                                                                                                                      
                                                                                                   Nanda Perdana Putra


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................3
PENDAHULUAN............................................................................................4
PEMBAHASAN..............................................................................................5
      A.    Pengertian Kebenaran...............................................................................5
      B.     Pendekatan Dalam Mencari Kebenaran..................................................5
1.      Pendekatan Empiris.................................................................5
2.      Pendekatan Rasional...............................................................5
3.      Pendekatan Intuitif...................................................................5
4.      Pendekatan Religius................................................................6
5.      Pendekatan Otoritas................................................................6
      C.    Teori Kebenaran Menurut Filsafat...........................................................6
1.      Teori Korenpondensi...............................................................6
2.      Teori Koherensi.......................................................................7
3.      Teori Pragmatik........................................................................9
4.      Teori Performatif.....................................................................10
5.      Teori Proposisi.........................................................................11
6.      Teori Struktural Paradigmatik................................................11
KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 14


 
PENDAHULUAN
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau secara empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional agar kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap kebenaran.Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda.Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Sedangkan tingkat yang lebih rendah dalam menangkap kebenaran adalah pengetahuan indra dan naluri karena tidak terstruktur dan pada umumnya kabur. Oleh sebab itu pengetahuan harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Proses pencarian kebenaran tentu bukan hal yang mudah dan dapat dikatakan merupakan proses yang sangat melelahkan, bahkan bukan tidak mungkin akan mendatangkan keputusasaan. Manusia, yang pada dasarnya adalah makhluk yang selalu bertanya dan selalu merasa ingin tahu pada akhirnya memutuskan untuk tetap selalu mencari kebenaran, tidak peduli betapa keputusasaan telah mengepungnya dari berbagai arah. Tujuan akhirnya adalah kebenaran harus ditemukan.

 

PEMBAHASAN
A.    Pengertian kebenaran
Kebenaran adalah kenyataan yang benar-benar terjadi. Pernyataan yang pasti, dan tidak dapat dipungkiri lagi. Kita manusia selalu ingin tahu kebenaran, karena hanya kebenaranlah yang bisa memuaskan rasa ingin tahu kita, dengan kata lain tujuan pengetahuan ialah mengetahui kebenaran. Tujuan ilmu juga mencapai kebenaran, dalam ilmu, kita manusia ingin memperoleh pengetahuan yang benar, karena ilmu merupakan pengetahuan yang sistematis, maka pengetahuan yang dituju ilmu adalah pengetahuan ilmiah.
Kita manusia bukan hanya sekedar ingin tahu, tetapi ingin mengetahui kebenaran.Kita juga selalu ingin memiliki pengetahuan yang benar. Kebenaran ialah persesuaian antara pengetahuan dan obyeknya. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan obyeknya.
B.     Pendekatan dalam mencari kebenaran
Dalam mencari kebenaran terdapat beberapa pendekatan yaitu dengan pendekatan empiris, pendekatan rasional, pendekatan intuitif, pendekatan religius, dan pendekatan otoritas.[1]
1.      Pendekatan Empiris
Manusia mempunyai seperangkat indera yang berfungsi sebagai penghubung dirinya dengan dunia nyata, dengan inderanya manusia mampu mengenal berbagai hal yang ada di sekitarnya.Kenyataan seperti ini menyebabkan timbulnya anggapan bahwa kebenaran dapat diperoleh melalui penginderaan atau pengalaman.
Bagi yang mempercayai bahwa penginderaan merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh kebenaran disebut sebagai kaum empiris. Bagi golongan ini, pengetahuan itu bukan didapatkan melalui penalaran rasional yang abstrak, namun melalui pengalaman yang konkrit.
2.      Pendekatan Rasional
Cara lain untuk mendapatkan kebenaran adalah dengan mengandalkan rasio, upaya ini sering disebut sebagai pendekatan rasional. Manusia merupakan makhluk hidup yang dapat berpikir, sehingga dengan kemampuannya tersebut manusia dapat menangkap ide atau prinsip tentang sesuatu, yang pada akhirnya sampai pada kebenaran, yaitu kebenaran rasional.
3.      Pendekatan Intuitif
Pendekatan ini merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran tertentu. Misalkan Seseorang yang sedang menghadapi suatu masalah secara tiba-tiba menemukan jalan pemecahan dari masalah yang dihadapi.
4.      Pendekatan Religius
Kita sebagai makhluk Tuhan yang diberi akal pikiran harus menyadari bahwa alam semesta beserta isinya ini diciptakan dan dikendalikan oleh kekuatan Tuhan. Upaya untuk memperoleh kebenaran dengan jalan seperti ini disebut sebagai pendekatan religius.
5.      Pendekatan Otoritas
Yang dimaksud dengan pendekatan otoritas ini adalah seseorang yang memiliki kelebihan tertentu dibandingkan dengan orang lain. Kelebihan-kelebihan tersebut bisa berupa kekuasaan, kemampuan intelektual, keterampilan, pengalaman, dan sebagainya. Yang memiliki kelebihan-kelebihan seperti itu disegani, ditakuti, ataupun dijadikan figur panutan. Apa yang mereka nyatakan akan diterima sebagai suatu kebenaran.
C.    Teori kebenaran menurut filsafat
            Terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik. Sementara, Michael William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu: kebenaran korespondensi, kebenaran koherensi, kebenaran pragmatik, kebenaran performatif dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran struktural paradigmatik.
1.      Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Truth)
Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan. Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.[2]
Kelemahan yang didapatkan dari teori korespondensi adalah: Pertama, teori korespondensi memberikan gambaran yang kurang tepat dan yang terlalu sederhana mengenai bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan. Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan yang dianggap sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing. Kedua, teori korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita harus melihat setiap pernyataan satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut berhubungan dengan realitasnya atau tidak. ”Lalu bagaimana jika kita tidak mengetahui realitasnya? Bagaimanapun terdapat kesulitan dalam melakukan hal tersebut. Adapun yang ketiga adalah, Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi. Di samping itu teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang nonempiris atau objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektifanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.[3]
2.      Teori Koherensi (The Coherence Theory of Truth)
Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain. Seperti sebuah percepatan terdiri dari konsep-konsep yang saling berhubungan darimassa, gaya dan kecepatan dalam fisika.
Teori Koherensi/Konsistensi (The Consistence/Coherence Theory of Truth) memandang bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. Suatu proposisi dianggap benar jika proposisi itu berhubungan (koheren) dengan proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Dengan demikian suatu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian (pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui, diterima dan diakui benarnya. Karena sifatnya demikian, teori ini mengenal tingkat-tingkat kebenaran. Disini derajar koherensi merupakan ukuran bagi derajat kebenaran. Contoh: “Semua manusia akan mati. Si Fulan adalah seorang manusia. Si Fulan pasti akan mati.“Sukarno adalah ayahanda Megawati.Sukarno mempunyai puteri.Megawati adalah puteri Sukarno”.
Seorang sarjana Barat A.C Ewing menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu ideal yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat tersebut dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tersebut tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tersebut adalah angka apa saja.
Teori koherensi, pada kenyataannya kurang diterima secara luas dibandingkan teori korespondensi.Teori ini punya banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan.Misalnya, astrologi mempunyai sistem yang sangat koheren, tetapi kita tidak menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya.[4]
Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori koheren. Sistem matematika disusun diatas beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar (aksioma). Dengan mempergunakan beberapa aksioma, maka disusun suatu teorema. Dan diatas teorema-lah, maka dikembangkan kaidah-kaidah matematika yang secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang konsisten.
Salah satu dasar teori ini adalah hubungan logis dari suatu proposisi dengan proposisi sebelumnya. Proposisi atau pernyataan adalah apa yang dinyatakan, diungkapkan dan dikemukakan atau menunjuk pada rumusan verbal berupa rangkaian kata-kata yang digunakan untuk mengemukakan apa yang hendak dikemukakan. Proposisi menunjukkan pendirian atau pendapat tentang hubungan antara dua hal dan merupakan gabungan antara faktor kuantitas dan kualitas. Contohnya tentang hakikat manusia, baru dikatakan utuh jika dilihat hubungan antara kepribadian, sifat, karakter, pemahaman dan pengaruh lingkungan.Psikologi strukturalisme berusaha mencari strukturasi sifat-sifat manusia dan hubungan-hubungan yang tersembunyi dalam kepribadiannya.
Kelemahan yang didapatkan dari teori koherensi adalah: Pertama, Pernyataan yang tidak koheren (melekat satu sama lain) secara otomatis tidak tergolong kepada suatu kebenaran, namun pernyataan yang koheren juga tidak otomatis tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya saja diantara pernyataan “anakku mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-acak pekerjaanku” adalah sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan kebenaran, jika hanya dipertimbangkan dari teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang yang berkata, “Sundel Bolong telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan dianggap salah oleh saya karena tidak konsisten dengan kepercayaan saya. Kedua, sama halnya dalam mengecek apakah setiap pernyataan berhubungan dengan realitasnya, kita juga tidak akan mampu mengecek apakah ada koherensi diantara semua pernyataan yang benar.
3.      Teori Pragmatik (The Pragmatic Theory of Truth)
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Teori Pragmatis (The Pragmatic Theory of Truth) memandang bahwa “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis”; dengan kata lain, “suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”.
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan (Titus, 1987:241), Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan manusia. Kata kunci teori ini adalah: kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequencies).[5] Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi benar dilihat dari realisasi proposisi itu.Jadi, benar-tidaknya tergantung pada konsekuensi, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis, sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan.
Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia”. Dalam pendidikan, misalnya di UNJ, prinsip kepraktisan (practicality) juga mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing Fakultas Teknik lebih dipilih karena dianggap pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya.
Mengenai kebenaran tentang “Adanya Tuhan” atau menjawab pertanyaan “Does God exist ?”, para penganut paham pragmatis tidak mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether really or ideally). Yang menjadi perhatian mereka adalah makna praktis atau dalam ungkapan William James “…. they have a definite meaning for our practice. We can act as if there were a God”. Dalam hal ini, menurut penganut pragmatis, kepercayaan atau keyakinan yang membawa pada hasil yang terbaik yang menjadi justifikasi dari segala tindakan kita dan yang meningkatkan suatu kesuksesan adalah kebenaran. Teori pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas maupun putusan/hukum yang telah ada. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless).Karena istilah “berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak.
Pragmatisme memang benar untuk menegaskan karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan, dan kapasitas kognitif manusia. Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang terbaik dari keseluruhan teori.Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya.
4.      Teori Performatif
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian Muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus (1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris.
Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional.Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.
5.      Teori Proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.
6.      Teori Struktural Paradigmatik
Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut. Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut. Pandangan apriori ini disebut paradigma oleh Kuhn dan world view oleh Sardar. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama.
Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis.
Pengujian suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut dalam memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah bagian dari kompetisi di antara dua paradigma yang bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan masyarakat sains. Falsifikasi terhadap suatu paradigma akan menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak karena hasilnya negatif. Teori baru yang memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi. Proses verifikasi-falsifikasi memiliki kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan memungkinkan adanya penjelasan tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara fakta dan teori. Perubahan dari paradigma lama ke paradigma baru adalah pengalaman konversi yang tidak dapat dipaksakan. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas. Adanya jaringan yang kuat dari para ilmuwan sebagai peneliti konseptual, teori, instrumen, dan metodologi merupakan sumber utama yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan pemecahan berbagai masalah.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kebenaran adalah kenyataan yang benar-benar terjadi. Pernyataan yang pasti, dan tidak dapat dipungkiri lagi.     Kita manusia bukan hanya sekedar ingin tahu, tetapi ingin mengetahui kebenaran. Kita juga selalu ingin memiliki pengetahuan yang benar. Kebenaran ialah persesuaian antara pengetahuan dan obyeknya. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan obyeknya.
Beberapa pendekatan dalam mencari kebenaran diantaranya adalah dengan pendekatan empiris, pendekatan rasional, pendekatan intuitif, pendekatan religious, dan pendekatan otoritas. Pendekatan ini merupakan cara untuk menjawab rasa kuriositi kita terhadap kebenaran.
Dalam dunia filsafat terdapat beberapa teori tentang rumusan kebenaran. Diantaranya adalah kebenaran korespondensi, kebenaran koherensi, kebenaran pragmatik, kebenaran performatif, kebenaran proposisi dan kebenaran struktural paradigmatik.
Saran
            Makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan masih kurangnya penjelasan lebih rinci mengenai beberapa pendekatan dan teori tentang kebenaran. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
                                               



DAFTAR PUSTAKA


A. Susanto. Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara. 2011.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
Budianto, Irmayanti M. Filsafat dan Metodologi Ilmu Pengetahuan; Refleksi Kritis Atas Kerja Ilmiah. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. 2001.
Hadi, Hardono.  Epistemologi; Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius. 1997.
Hadiwijno, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius. 1981.
Ihsan, A. Fuad.  “Filsafat Ilmu”. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya. 2011.
Jalaluddin dan Abdullah. Filsafat Pendidikan.  Jakarta: Gaya Media Pratama. 1997.
Kattsoft, Louise O. Pengantar Filsafat, cet VII. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1996.
Salam, Burhanuddin.  Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta. 1997.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2000. cet. ke-13.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan,. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2009.



[1] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 87.
[2] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), cet.ke-13., hlm. 57
[3] Hardono Hadi, Epistemologi; Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 148.
[4] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 116.
[5] Harun Hadiwijno, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1981), hlm. 131.

3 komentar: