Senin, 09 April 2012

Pendidikan Multi Budaya

Makalah Pengantar Ilmu Pendidikan
Pendidikan Multi Budaya


Oleh:
Nanda Perdana Putra

Program Studi Ilmu Pendidikan Islam
Jurusan Ilmu Agama Islam
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta

PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku dan ras, yang mempunyai budaya, bahasa, nilai, dan agama atau keyakinan berbeda-beda. Bila bangsa ini ingin menjadi kuat dalam era demokrasi, diperlukan sikap saling menerima dan menghargai dari tiap orang yang beraneka ragam itu sehingga dapat saling membantu, bekerja sama membangun negara ini lebih baik. Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Ahmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa. Untuk itu dipandang sangat penting memberikan pendidikan Multibudaya sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.
A. PENGERTIAN HAKIKAT PENDIDIKAN MULTIBUDAYA
Pembelajaran Multibudaya adalah kebijakan dalam praktik pendidikan dalam mengakui, menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan gender, ras, kelas. Pendidikan Multibudaya adalah suatu sikap dalam memandang keunikan manusia dengan tanpa membedakan ras, budaya, jenis kelamin, seks, kondisi jasmaniah atau status ekonomi seseorang. Pendidikan Multibudaya (Multicultural education) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas. Pendidikan Multibudaya didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pembelajaran Multibudaya pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya.
Dalam konteks yang luas, pendidikan Multibudaya mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek; dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.
Pembelajaran berbasis Multibudaya didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan Multibudaya bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan pengajaran inklusif dan pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum yang berperan bagi kompetisi budaya individual.
Pembelajaran berbasis Multibudaya berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung. Pendidikan Multibudaya juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat. Pendidikan Multibudaya diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis.
Tujuan pendidikan dengan berbasis Multibudaya dapat diidentifikasi: (1) Untuk mefungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam; (2) Untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan; (3)  Memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya; (4) Untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan.
Di samping itu, pembelajaran berbasis Multibudaya dibangun atas dasar konsep pendidikan untuk kebebasan, yang bertujuan untuk: (1) Membantu siswa atau mahasiswa mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk berpartisipasi di dalam demokrasi dan kebebasan masyarakat; (2) Memajukan kebebasan, kecakapan, keterampilan terhadap lintas batas-batas etnik dan budaya untuk berpartisipasi dalam beberapa kelompok dan budaya orang lain.
B. MODEL-MODEL PERUBAHAN IDENTITAS ETNIK
Dalam kehidupan kita yang memiliki banyak budaya pastinya ada pula didalamnya kejadian mengenai Culture Shock. Terdapat beberapa model perubahan identitas etnik, diantaranya adalah:
o   Model Perubahan Identitas Penduduk Sementara
Beberapa penelitian mengonseptualisasikan proses penyesuaian penduduk musiman dari berbagai perspektif developmental. Konsekuensi menarik dari model-model deskriptif yang berorientasi jenjang ini berpusat pada pertanyaan apakah adaptasi penduduk musiman merupakan satu proses kurva-U atau kurva-W. Lysgaard mengembangkan satu model penyesuaian antarbudaya yang terdiri atas tiga fase yang mencakup penyesuaian awal, krisis, dan penyesuaian yang diperoleh kembali. Penyesuaian awal adalah fase optimistis dari proses penyesuaian para penduduk musiman; yang kedua merupakan fase yang menekan ketika realitas terbentuk dan penduduk musiman diluapi ketidakmampuan mereka; yang ketiga adalah fase penetapan, saat penduduk musiman belajar mengatasi lingkungan baru.
Dari gagasan-gagasan tersebut, Lysgaard mengajukan model kurva-U sebagai proses penyesuaian penduduk musiman, sekaligus menyatakan bahwa penduduk musiman melalui fase awal ”bulan madu”, lalu mengalami ”kemerosotan” atau fase yang membuat tertekan, dan akhirnya menguasai diri mereka hingga mencapai satu fase dalam mengelola tugas-tugas mereka di luar negeri. Dalam mengembangkan model kurva-U, Gullahorn mengajukan model kurva-W dengan enam jenjang: yakni fase bulan madu, permusuhan, penuh humor, merasa seperti di rumah sendiri, guncangan budaya reentry, dan resosialisasi. Sebagai pengembangan lebih lanjut dari model Gullahorn ini, dikembangkan model penyesuaian berbentuk W yang merupakan hasil revisi dengan tujuh jenjang untuk menjelaskan proses penyesuaian jangka pendek dan menengah dari penduduk musiman. Ketujuh jenjang tersebut adalah jenjang bulan madu, permusuhan, penuh humor, in-sync, ambivalensi, guncangan budaya, dan resosialisasi.
Pada tahap bulan madu, penduduk musiman sangat bersemangat menghadapi lingkungan budaya baru mereka. Pada tahap permusuhan, mereka mengalami kebingungan dan disorientasi identitas yang hebat, tak ada satu hal pun yang berhasil dalam fase ini. Dalam tahap penuh humor, penduduk musiman belajar menertawakan kecerobohan-kecerobohan budaya mereka dan mulai menyadari bahwa ada pro dan kontra dalam tiap budaya, seperti ada baik dan buruk dalam tiap masyarakat. Dalam tahap in-sync, mereka mulai merasa seperti ada di lingkungan sendiri dan mengalami keamanan dan inklusi identitas. Batas antara outsider dan insider semakin kabur dan para pendatang mengalami penerimaan dan dukungan sosial. Saat telah berada di zona kenyamanan, mereka harus pulang. Dalam tahap ambivalensi, mereka mengalami duka, nostalgia, dan kebanggaan, yang bercampur dengan rasa lega sekaligus sedih karena mereka akan pulang.
Dalam tahap guncangan budaya saat masuk kembali, penduduk musiman menghadapi satu sentakan tak terduga. Karena sifatnya yang tak terduga, guncangan budaya reentry biasanya berdampak lebih hebat. Mereka biasanya merasa lebih tertekan dibandingkan dengan ketika mereka masuk. Pada tahap resosialisasi, beberapa individu secara diam-diam mengasimilasikan diri mereka kembali pada peran-peran dan perilaku lama mereka tanpa menimbulkan gelombang atau tanpa tampil berbeda dari kolega-kolega mereka. Beberapa individu lain tak dapat masuk kembali ke dalam budaya asal mereka (alienator). Beberapa individu lain mungkin menjadi agen perubahan dalam budaya atau organisasi asal mereka. Mereka secara penuh pertimbangan mengintegrasikan pengalaman belajar di luar negeri dengan hal-hal positif lain dari budaya asal mereka. Mereka menerapkan cara berpikir multidimensional, kecerdasan emosi yang diperkaya, dan berbagai sudut pandang dalam memecahkan masalah atau mendorong perubahan demi terciptanya organisasi pembelajaran yang benar-benar inklusif. Mereka juga tidak takut terlihat berbeda di tempat asal mereka karena mereka memiliki pengalaman menjadi orang yang berbeda saat di luar negeri. Mereka merasa nyaman dengan proses berayun identitas ganda. Para transformer ini menjadi individu-individu yang telah memiliki kecermatan, rasa iba, dan kebijakan.
Pada dasarnya, model penyesuaian berbentuk W yang telah direvisi menekankan beberapa karakteristik selama proses perubahan identitas para penduduk musiman:
1. Mereka perlu memahami puncak dan titik rendah, pergeseran positif dan negatif, yang membentuk perubahan identitas dalam lingkungan asing, menyadari bahwa perubahan naik-turun perasaan merupakan bagian dari proses perubahan dan perkembangan,
2. Mereka mesti menyadari dan mengikuti tujuan instrumental, relasional dan identitas mereka dalam budaya baru; kesuksesan dalam satu set tujuan tertentu mempengaruhi keberhasilan mencapai tujuan lain,
3. Mereka perlu memberikan diri mereka waktu dan ruang untuk menyesuaikan diri,
4. Mereka perlu mengembangkan ikatan kuat dan ikatan lemah untuk melindungi mereka dan tempat mencari bantuan pada saat diperlukan,
5. Mereka perlu mencari kesempata untuk berpartisipasi dalam event budaya besar milik budaya tuan rumah dan melibatkan diri dalam kesempatan langka itu serta belajar menikmati budaya lokal semaksimal mungkin.
o   Model Perubahan Identitas Imigran dan Minoritas
Akulturasi adalah proses beranekasegi dan multidimensional yang melibatkan proses perubahan level sistem dan individu. Para antropologis mengartikan akulturasi sebagai kontak langsung yang berlangsung terus-menerus antara kelompok-kelompok individu yang memproduksi perubahan berikutnya dalam pola-pola budaya salah satu atau dua kelompok tersebut. Transformasi individu ini dapat terjadi dalam masyarakat yang monokultural atau pluralistis.
Dalam masyarakat monokultural dengan tuntutan akan konformitas yang tinggi, akulturasi bagi inhabitan jangka panjang secara tipikal bersifat unidirectional. Dalam masyarakat pluralistis, akulturasi dapat mengambil banyak bentuk dan arah. Konsep akulturasi melibatkan banyak isu, seperti batas dalam kelompok/ luar kelompok, tekanan konformitas, perilaku dan hubungan kelompok minoritas-mayoritas, dan pemeliharaan warisan etnis serta asimilasi budaya yang lebih besar.
Dari perspektif tipologis minoritas-mayoritas, penonjolan identitas etnis/kultural dapat dipandang sebagai model empat rangkap yang menekankan orientasi individu terhadap isu-isu pemeliharaan identitas etnis dan identitas budaya yang lebih besar.
Menurut Berry, imigran yang cenderung mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan merendahkan siginifikansi nilai-nilai dan norma-norma budaya baru menerapkan opsi yang berorientasi tradisional. Individu yang mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan pada saat yang bersamaan menampakkan gerakan untuk menjadi bagian dari masyarakat yang lebih besar, menerapkan opsi yang berorientasi bikultural atau integratif. Individu yang menganggap rendah signifikansi nilai-nilai dan norma-norma etnis mereka dan cenderung memandang diri mereka sebagai anggota masyarakat yang lebih besar, menerapkan opsi asimilasi. Individu yang kehilangan kontak psikologis/etnis dengan kelompok etnis sekaligus masyarakat yang lebih besar dan mengalami perasaan alienasi dan kehilangan identitas, mengalami marjinalisasi.

C. LANGKAH-LANGKAH IMPLEMENTASI FILOSOFI BHINEKA TUNGGAL IKA DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Agar pendidikan lebih Multibudaya, maka kurikulum, model pembelajaran, dan suasana sekolah harus diseragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada , dan peran guru harus dibuat Multibudaya, serta peran keluarga yang sangat penting untuk pelaksanaan Multibudaya. Isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum harus menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif. Isi dan bahan ajar di sekolah perlu dipilih yang sungguh menekankan pengenalan dan penghargaan terhadap budaya dan nilai lain.
Pertama, misalnya dalam semua bidang pelajaran, dimasukkan nilai dan tokoh-tokoh dari budaya lain agar siswa mengerti bahwa dalam tiap budaya, ilmu itu dikembangkan. Contoh-contoh ilmuwan dan hasil teknologi, perlu diambil dari berbagai budaya dan latar belakang termasuk jender. Kesamaan dan perbedaan antarbudaya perlu dijelaskan dan dimengerti. Siswa dibantu untuk kian mengerti nilai budaya lain, menerima dan menghargainya. Misalnya, dalam mengajarkan makanan, pakaian, cara hidup, bukan hanya dijelaskan dari budayanya sendiri, tetapi juga yang lain.
Kedua, model pembelajaran dalam kelas pun perlu diwarnai multikultural, yaitu dengan menggunakan berbagai pendekatan berbeda-beda. Penyajian bahan, termasuk matematika, dalam memberi contoh, guru perlu memilih yang beraneka nilai. Buku-buku yang ditulis dalam pelajaran pun perlu disusun untuk menghargai budaya lain dan penghargaan jender.
Ketiga, suasana sekolah amat penting dalam penanaman nilai multibudaya. Sekolah harus dibangun dengan suasana yang menunjang penghargaan budaya lain. Relasi guru, karyawan, siswa yang berbeda budaya diatur dengan baik, ada saling penghargaan. Anak dari kelompok lain tidak ditolak tetapi dihargai.
Keempat, dengan menyeragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada, baik dari segi budaya, agama, nilai, dan lain-lain. Sikap saling menerima, menghargai nilai, budaya, keyakinan yang berbeda tidak otomatis akan berkembang sendiri. Apalagi karena dalam diri seseorang ada kecenderungan untuk mengharapkan orang lain menjadi seperti dirinya.
Kelima, dengan sikap saling menerima dan menghargai akan cepat berkembang bila dilatihkan dan dididikkan pada generasi muda dalam sistem pendidikan nasional. Dengan pendidikan, sikap penghargaan terhadap perbedaan yang direncana baik, generasi muda dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan budaya lain bahkan melatihnya dalam hidup sehingga sewaktu mereka dewasa sudah mempunya sikap itu. Di sini pemerintah dan tiap sekolah perlu memikirkan model dan bentuk yang sesuai.
Keenam, lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau untuk hidup bersama secara damai.
Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan Multibudaya disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
James A. Banks, mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan Multibudaya yang diperkirakan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan pelajar (siswa), yaitu:
  1. Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.
  2. Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri;
  3. Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.
  4. Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan, persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar.
  5. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstrakurikuler dan penghargaan staff dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.
Pendekatan yang bisa dipakai dalam proses pembelajaran di kelas Multibudaya adalah pendekatan kajian kelompok tunggal (Single Group Studies) dan pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspektives Approach). Pendidikan Multibudaya di Indonesia pada umumnya memakai pendekatan kajian kelompok tunggal. Pendekatan ini dirancang untuk membantu siswa dalam mempelajari pandangan-pandangan kelompok tertentu secara lebih mendalam. Oleh karena itu, harus tersedia data-data tentang sejarah kelompok itu, kebiasaan, pakaian, rumah, makanan, agama yang dianut, dan tradisi lainnya. Data tentang kontribusi kelompok itu terhadap perkembangan musik, sastra, ilmu pengetahuan, politik dan lain-lain harus dihadapkan pada siswa. Pendekatan ini terfokus pada isu-isu yang sarat dengan nilai-nilai kelompok yang sedang dikaji.
Sedangkan pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspectives) adalah pendekatan yang terfokus pada isu tunggal yang dibahas dari berbagai perspektif kelompok-kelompok yang berbeda. Pada umumnya, guru-guru memiliki berbagai perspektif dalam pembelajarannya.
Pendekatan perspektif ganda membantu siswa untuk menyadari bahwa suatu peristiwa umum sering diinterpretasikan secara berbeda oleh orang lain, dimana interpretasinya sering didasarkan atas nilai-nilai kelompok yang mereka ikuti. Solusi yang dianggap baik oleh suatu kelompok (karena solusi itu sesuai dengan nilai-nilainya), sering tidak dianggap baik oleh kelompok lainnya karena tidak cocok dengan nilai yang diikutinya. Keunggulan pendekatan perspektif ganda ini terletak pada proses berpikir kritis terhadap isu yang sedang dibahas sehingga mendorong siswa untuk menghilangkan prasangka buruk. Interaksi dengan pandangan kelompok yang berbeda-bebada memungkinkan siswa untuk berempati. Hasil penelitian membuktikan bahwa siswa yang rendah prasangkanya menunjukkan sikap yang lebih sensitif dan terbuka terhadap pandangan orang lain. Mereka juga mampu berpikir kritis, karena mereka lebih bersikap terbuka, fleksibel, dan menaruh hormat pada pendapat yang berbeda. Bahan pelajaran dan aktivitas belajar yang kuat aspek afektifnya tentang kehidupan bersama dalam perbedaan kultur terbukti efektif untuk mengembangkan perspektif yang fleksibel. Siswa yang memiliki rasa empati yang besar memungkinkan dia untuk menaruh rasa hormat terhadap perbedaan cara pandang. Tentu saja hal itu akan mampu mengurangi prasangka buruk terhadap kelompok lain. Membaca buku sastra multietnik dapat mengurangi stereotipe negatif tentang budaya orang lain. Pendekatan perspektif ganda mengandung dua sasaran yaitu meningkatkan empati dan menurunkan prasangka. Empati terhadap kultur yang berbeda merupakan prasyarat bagi upaya menurunkan prasangka.
KESIMPULAN
Pendidikan Multibudaya didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pembelajaran Multibudaya pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya.
Terdapat beberapa model perubahan identitas etnik, yang pertama adalah Model Perubahan Identitas Penduduk Sementara. Lysgaard mengembangkan satu model penyesuaian antarbudaya yang terdiri atas tiga fase yang mencakup penyesuaian awal, krisis, dan penyesuaian yang diperoleh kembali. Penyesuaian awal adalah fase optimistis dari proses penyesuaian para penduduk musiman, yang kedua merupakan fase yang menekan ketika realitas terbentuk dan penduduk musiman diluapi ketidakmampuan mereka, yang ketiga adalah fase penetapan, saat penduduk musiman belajar mengatasi lingkungan baru.
Yang kedua adalah Model Perubahan Identitas Imigran dan Minoritas. Imigran yang cenderung mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan merendahkan siginifikansi nilai-nilai dan norma-norma budaya baru menerapkan opsi yang berorientasi tradisional. Individu yang mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan pada saat yang bersamaan menampakkan gerakan untuk menjadi bagian dari masyarakat yang lebih besar, menerapkan opsi yang berorientasi bikultural atau integratif. Individu yang menganggap rendah signifikansi nilai-nilai dan norma-norma etnis mereka dan cenderung memandang diri mereka sebagai anggota masyarakat yang lebih besar, menerapkan opsi asimilasi. Individu yang kehilangan kontak psikologis/etnis dengan kelompok etnis sekaligus masyarakat yang lebih besar dan mengalami perasaan alienasi dan kehilangan identitas, mengalami marjinalisasi.
Dalam mengimplementasikan filosofi Bhineka Tunggal Ika dalam dunia pendidikan, James A. Banks mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan Multibudaya yang diperkirakan dapat membantu guru dalam pelaksanaan tersebut. Lima dimensi tersebut adalah: 1) Dimensi integrasi isi/materi (content integration). 2) Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). 3) Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). 4) Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dan 5) Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure).


DAFTAR PUSTAKA
Ainul Yaqin. 2005. Pendidikan Multikultural, Pilar Media: Yogyakarta.
Ainurrofiq Dawam. 2006. Pendidikan Multikultural, Penerbit Inspeal: Yogyakarta
Banks, J.A. 1997. Multicultural Education-Issue and Perspectives, Ellyn and Bacon: Boston.
Byrnes, D.A. 1988. “Children and Prejudice”, Social Education.
Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat. 2001. Komunikasi MultiBudaya, Rosda Karya: Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar